PENGARUH PERUBAHAN KETENTUAN UMUM TENTANG KUASA PERTAMBANGAN TERHADAP NEGARA DALAM KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI
J Albab Setiawan, Prof. Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., L.L.M.; Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si.
2020 | Disertasi | DOKTOR ILMU HUKUMPerubahan rumusan "Kuasa Pertambangan" Migas dalam Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi menjadi Kuasa Pertambangan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang berlaku saat ini terjadi akibat pergeseran cara pandang negara terhadap Migas. Semula negara memandang Migas sebagai komoditi konstitusi, modal pembangunan nasional yang dikelola dengan semangat nasionalisme yang tinggi, serta berperan sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial, kemudian bergeser menjadi komoditi pasar bebas yang pengelolaannya tunduk dan diserahkan kepada mekanisme pasar yang berpaham liberalisme, kapitalisme. Pergeseran cara pandang tersebut disebabkan adanya pengaruh dari dalam dan luar negeri yang diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan negara dalam memenuhi persyaratan bisnis hulu Migas yang penuh ketidakpastian, berisiko tinggi, berjangka waktu lama serta membutuhkan keahlian, dan permodalan yang kuat. Perubahan rumusan Kuasa Pertambangan mengakibatkan kerancuan tata kelola Migas, melemahnya peran negara dalam kegiatan usaha hulu Migas, serta mengganggu kepastian hukum. Rumusan Kuasa Pertambangan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mampu menjembatani kedua dikotomi cara pandang di atas, maka diperlukan suatu rumusan Kuasa Pertambangan baru yang mampu menjaga agar kepentingan negara tetap terjamin namun adaptif dan fleksibel terhadap tuntutan pasar dan perkembangan zaman. Mengingat migas adalah sumber daya alam vital yang dilindungi oleh konstitusi sekaligus objek bisnis, maka untuk mengelola Migas diperlukan suatu rumusan ketentuan umum Kuasa Pertambangan baru yang sesuai dengan karakter alamiah Migas dan berfungsi sebagai jembatan hukum yang menghubungkan antara negara sebagai penyandang Hak Menguasai Negara (HMN) atas Migas dengan kegiatan operasional usaha (bisnis) hulu Migas. Kegiatan operasional usaha hulu Migas sebaiknya dijalankan oleh suatu Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) sebagai pengemban Kuasa Pertambangan yang dalam bekerjanya diawasi oleh suatu badan pengatur dan pengawas, serta dilandasi oleh rumusan ketentuan umum Kuasa Pertambangan baru yang berbunyi: "wewenang yang diberikan oleh Negara kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) untuk menjalankan kegiatan usaha hulu Migas".
The amendment in the formulation of Mining Authority for Oil and Gas in Law Number 44 Prp. of 1960 concerning Oil and Gas Mining to be Mining Authority in Law Number 22 of 2001 concerning Oil and Gas currently applied occurred due to a change in the perspective of state about Oil and Gas. Initially, the state viewed oil and gas as a constitutional commodity, a national development capital managed with a high spirit of nationalism, and played a role as a tool for realizing the people welfare with socially justice, and then it has shifted to a free market commodity with the management subjected to and submitted to market mechanisms with liberalism and capitalism. This shift in perspective was in relation to the influence from internal and external of the state caused by the limited ability of the state to meet the requirements of the upstream oil and gas business which is full of uncertainty, high risk, prolonged and requiring expertise and strong capital. The amendment of the formulation of the Mining Authority have resulted in confusion in oil and gas governance, weakened the role of the state in upstream oil and gas business activities, and disturbed the legal certainty. The formulation of Mining Authorization in Law Number 22 of 2001 concerning Oil and Natural Gas is unable to bridge two dichotomies of the above perspective. Thus, a new Mining Authority formula is required in which it is able to keep the interests of the state secure but adaptive and flexible to market demands and developments era. Considering that oil and gas is a vital natural resource protected by the constitution as well as a business object; to manage oil and gas, it is necessary to formulate a general provision of a new mining authority in accordance with the natural characters of oil and gas and functions as a legal bridge connecting the state as the holder of the State's Right to Control (HMN) on oil and gas with upstream oil and gas business operations (business). The upstream oil and gas business operations should be carried out by a Special State-Owned Enterprise (BUMNK) as the bearer of the Mining Authority in which its work is supervised by a regulatory and supervisory agency, and based on the formulation of the general provisions of the new Mining Authority stating: "the authority granted by the State to Special State Owned Enterprises (BUMNK) to carry out upstream oil and gas business activities".
Kata Kunci : Migas, Konstitusi, Kuasa, Pertambangan, Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001