Laporkan Masalah

Drama tari Kuntisraya transformasi teks sastra Jawa kuna menjadi teks seni pertunjukan wisata di Bali

KUSTIYANTI, Dyah, Prof.Dr. R.M. Soedarsono

2002 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Pada kenyataannya salah satu fenomena seni pertunjukan di Indonesia, adalah kecenderungan untuk mengangkat suatu bentuk karya sastra sebagai sumber idenya. Hal ini membuktikan, bahwa karya sastra begitu sarat dengan nilai, serta kompleks dengan berbagai permasalahan. Di Bali, pengaruh sastra terhadap seni pertunjukan sudah berlangsung lama. Cerita dan tema sastra, khususnya sastra klasik, telah disadur untuk kepentingan seni pertunjukan, baik drama tari, sendratari, maupun teater. Sastra Sudamala (Kuntisraya), sebagai salah satu karya sastra klasik, juga sudah dijadikan ide cerita dalam drama tari untuk sajian wisata, yaitu pertunjukan Barong and Kris Dance. Meskipun cerita Kuntisraya dianggap memiliki tingkat kesakralan dan dikategorikan sebagai kisah penyalonarangun, namun frekuensinya sebagai produk seni pertunjukan wisata justru sangat dominan. Dalam transfonnasi sastra Sudamala ke dalam pertunjukan Barong and Kris Dance ini akan mengalami diferensiasi maupun deviasi struktur, ini dikarenakan drama tan memiliki aspek yang sangat kompleks bila dibandingkan dengan karya sastra. Sebagai sistem tanda, karya sastra adalah representasi dengan medium bahasa, sedangkan seni pertunjukan merupakan representasi dengan medium gerak, yang hanya diperoleh melalui aspek komposisi, yaitu aspek gerak, ruang dan waktu. Dalam pengolahan kisah Kuntisraya ke dalam drama kui untuk wisatawan ini ada kelonggaran dan kebebasan kreativitas, meskipun ada aturan-aturan yang dipandang akan tetap memunculkan karakteristik yang ada pada seni pertunjukan di Bali. Ini dapat diamati dengan adanya unsur-unsur drama tari yang telah muncul sebelumnya, seperti Aqa, Calonarang, Gambuh, Topeng, Legong, Barong dan Rangda, sehingga drama taxi Kuntisraya ini lebih berbentuk drama tari peprembonan. Jelas pertunjukan ini fungsi utamanya adalah sebagai sarana komunikasi, yaitu sebagai alat pengenalan budaya setempat kepada komunitas penontonnya. Barong dan Rangda yang pada hakekatnya sebagai sungsungan yang dianggap sakral oleh masyaraka Bali, telah mengalami perubahan dan perkembangan fungsi, namun demikian seiring dengan perkembangan dunia wisata, pertimbangan utamanya tidak hanya pada kebutuhan wisata saja, akan tetapi juga tetap memikirkan kepentingan agama dan adat masyarakat Hindu di Bali.

In the reality, one of the phenomena of performance art in Indonesia is the tendency to take a literary work as the source of idea. It proves that literary works are loaded with values and complete with various problems. In Bali, the influence of literature to performance art has long lasted. Literary themes and stories, especially classical literature, have been adapted to meet the necessity for performance art, either dance drama or theater. Sudamala (Kuntisraya) literature, one of the classical literary work, has also become the story idea of dance drama for tourists' attraction, i.e. the performance of Barong and Kris Dance. Although the story of Kuntisraya is considered to penyalonarangan, its frequency as the product of tourists' art performance is much more dominant. In its transformation into the performance of Barong and Kris Dance, Sudamala has gone through some structural difference and deviation for the reason that compared with literary work, dance drama has more complicated aspect. As a sign system, literary work is representation using language as the medium while performance art is representation using movement as the medium which can only be obtained through the aspect of composition, i.e. the aspects of movement, space and time. In working on the story of Kuntisraya into dance drama for tourists, there is a room for flexibility and freedom of creativity, but characteristics of Balinese performance art. It can be observed from the elements of the previous dance dramas such as Aqa, Calonarang, Gambuh, Topeng, Legong, and Barong and Rangda so that this Kuntisraya dance drama is closer to the form of peprembonan dance drama. It is obvious that the main function of this performance is a means of communication, i.e. as the means to introduce the local culture to its audience community. Barong and Rangda as sungsungan which is considered sacred by Balinese people, indeed have undergone some changes and development of function. However in according with the development of tourism world, the main concern should not only be for tourism needs, but also for religion and tradition of Hindu in Bali.

Kata Kunci : Drama Tari Kuntisraya,Sastra Jawa Kuna


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.