DINAMIKA KONTESTASI DAN NEGOSIASI DISKURSUS REKONSILIASI 1965 PASCA ORDE BARU

ST. TRI GUNTUR NARWAYA, Prof. Dr. Faruk HT; Dr. Budiawan

2019 | Disertasi | DOKTOR KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA

Pasca Soeharto jatuh di tahun 1998, usaha mendorong gagasan rekonsiliasi dalam kasus tragedi 1965-1966 telah melewati jalan negosiasi yang panjang. Dalam berbagai momen, bahkan telah menimbulkan situasi polemik politik yang keras dan alot. Sebagian suara masyarakat, terutama korban/penyintas dan keluarga korban menghendaki agar kejahatan masa lalu bisa diungkap. Namun tidak sedikit dari sebagian besar kekuatan politik lama masih tetap kokoh menutup diri dan menolak gagasan pengungkapan kebenaran masa lalu dan jalan rekonsiliasi. Berbagai inisiasi rekonsiliasi pada akhirnya terpaksa harus bernegosiasi dengan berbagai kecenderungan wacana politik lama yang masih bertahan. Pelembagaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menjadi bagian lokus materi perdebatan yang cukup menguras energi. Proses pelembagaan pada akhirnya juga harus terganjal di jalan. UU KKR yang sudah berhasil dibentuk justru lalu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga riset ini dikerjakan, beberapa siasat untuk mengatasi jalan buntu terus diupayakan, walaupun belum menemukan momen konsensus bersama yang ideal. Dari beberapa analisis data yang dielaborasi dalam riset ini setidaknya menemukan problem mendasar, betapa warisan politik masa lalu, terutama diskursus anti-komunis ternyata masih kuat bertahan. Dimensi ini menjadi salah satu variabel penghambat gagasan rekonsiliasi. Tertatih-tatihnya wacana rekonsiliasi membuktikan bahwa konfirgurasi politik lama, dalam beberapa hal masih kuat dan belum bergeser dalam membangun lanskap narasi hegemonik tentang tragedi 1965-1966. Dengan sekian momen pengalaman negativitasnya, imbas tragedi mampu mengkreasi banyak momen artikulasi wacana yang berelasi erat dengan persoalan bagaimana berbagai imaji tentang kindonesiaan, demokrasi dan HAM diperbincangkan dan dinegosiasikan kembali. Lanskap konfigurasi wacana rekonsiliasi pada akhirnya juga bisa dibaca sebagai momen artikulasi pertarungan hegemoni wacana untuk memperebutkan imaji-imaji besar tersebut. Melalui pendekatan analisis wacana pasca strukturalis yang dielaborasi Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe berhasil membantu untuk membaca secara kirits tentang lokus persoalan rekonsiliasi ini. Beberapa poin catatan kesimpulan yang berhasil didapatkan adalah: pertama, bahwa polemik wacana rekonsiliasi pada akhirnya bisa dibaca sebagai wujud negosiasi untuk memperebutkan fiksasi makna. Kedua, transisi politik demokrasi sendiri tidak dipahami sebagai periode waktu mekanis tetapi merupakan fase politik yang dinamis dengan sekian aspek kondisi kontinuitas dan diskontinuitasnya. Ketiga, preferensi-preferensi wacana rekonsiliasi (keindonesiaan, demokrasi, dan HAM) pada praktik artikulasinya tidak akan pernah solid dan kokoh. Keempat, mekanisme kompromi konsensual tidak lebih dari modus dan siasat politik untuk peningkaran jalan rekonsiliasi yang sebenaranya. Kelima, setidaknya ada empat kecenderungan pla yang bisa dilihat dari konfigurasi wacana rekonsiliasi yang berkembang. Keenam, rekonsiliasi juga pada akhirnay bisa dibaca sebagai jalan memperebutkan fiksasi makna atas masa lalu. Ketujuh, riset menemukan poin kesimpulan penting bahwa masa depan rekonsiliasi hari ini semakin kehilangan momentumnya.

After Soeharto fell from power in 1998, efforts to push reconciliation ideas of 1965-1966 tragedy case have passed through a long negotiation. In various moments, it has even caused harsh and tough political polemics. The voice of some people, especially the victims and their families, expects the past crimes can be uncovered. However, many of the big old political forces still insist to close themselves and reject the idea of uncovering past truth and reconciliation road. Various initiations of reconciliation, in the end, have to negotiate with tendency of stubborn old political discourses. The forming of Truth and Reconciliation Commission was an energy depleting debate material, which in the end also faced a difficult road. The law that initially backed the Commission was later revoked by Constitutional Court. Up to now, some strategies to solve the dead end continue to be worked on, though ideal moment of consensus is yet to be found. From data analysis elaborated in this research, a basic problem is found: how past political legacy, especially anti communist discourse, are still strongly present. This dimension becomes a key variable that blocks reconciliation idea. The struggle of reconciliation discourse proves that old political configurations, in many aspects, are still strong in standing their ground in the hegemony of narration landscape of 1965-1966 tragedy. In many of the negative experiences, impact of the tragedy created many discourse articulations that relate strongly with the image of Indonesianness, democracy, and human rights in discussions and renegotiations. The landscape of reconciliation discourse, in the end, can also be seen as articulation moments of battle of hegemony on those big ideas. Post Structuralism discourse analysis elaborated by Ernesto Laclau and Chantal Mouffe helps in critically reading the locus of this reconciliation debate. Some points of conclusion found in this research are (1) reconciliation discourse polemics, in the end, can be seen as a negotiation form of meaning fixation; (2) Democracy political transition itself is not understood as a mechanical time period, but as a dynamic political phase with a number of conditional aspects of continuity and discontinuity; (3) Preferences in reconciliation discourse (Indonesianness, democracy, and human rights), in articulation practice, are never solid and firm; (4) Consensual compromise mechanic is never more than just political trick and strategy to avoid the real road of reconciliation; (5) At least there are four pattern tendencies in the developing reconciliation discourse configurations; (6) Reconciliation, in the end, can also be seen as a way to compete over meaning fixation of the past; (7) Research found a key conclusion that the future of reconciliation is losing its momentum nowadays.

Kata Kunci : Keywords: 1965-1966 Tragedy, Reconciliation, Post Structuralism Discourse Analysis, International Relation Doctrine, Differentiation Point, Equivalence Point, Contestation Negotiation, Articulation, Nodal Point, Hegemony, Dissensus, Memory Politics, Negat