Laporkan Masalah

WABAH BERI-BERI PADA MASA PERANG DI ACEH TAHUN 1873-1917

WAHYU SURI YANI, Dr. Agus Suwignyo, M.A.

2020 | Tesis | MAGISTER SEJARAH

Tulisan ini menjelaskan bagaimana mewabahnya penyakit beri-beri pada masa perang di Aceh pada tahun 1873-1917. Wabah beri-beri berpuncak pada tahun 1885-1887 membuat Belanda kehilangan lebih dari separoh tentaranya. Berkurangnya tentara tidak hanya karena di evakuasi untuk disembuhkan, tetapi beri-beri mengakibatkan kematian yang tinggi di kalangan pekerja paksa dan tentara Belanda dari kalangan pribumi. Apalagi tahun 1886 dari 3.703 tentara Eropa yang di evakuasi meninggal sebanyak 114 orang sedangkan tentara pribumi dari 9760 orang yang dievakuasi meninggal sebanyak 547 orang. Tingginya ketimpangan korban beri-beri antara tentara Belanda bumiputra dibandingkan tentara berkebangsaan Eropa, menimbulkan tuduhan bahwa tentara bumiputra sebagai pembawa penyakit beri-beri. Ketakutan akan kepunahan tentara dikalangan Eropa dan harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk merekrut tentara baru, mendorong Belanda pertama kali mengeluarkan kebijakan khusus dalam menghadapi beri-beri. Diantaranya melalui kebijakan kuratif dan rehabilitatif dengan membangun rumah sakit khusus beri-beri yang jauh dari lokasi perang. Kemudian melakukan kebijakan investigatif dengan membiayai mengiriman Commissie Beri-beri ke Hindia Belanda tetapi mengalami kegagalan. Kemudian mendirikan Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologi di Batavia. Percobaan Eijkman di laboratorium ini yang membuktikan bahwa penyakit beri-beri berhubungan dengan jenis beras yang dikonsumsi. Hal ini menyingkap bahwa beri-beri bukan penyakit menular tetapi berkaitan dengan apa yang dimakan tentara Belanda di Aceh. Permasalahan makanan tentara Belanda di Aceh menyingkap tabir diskriminasi dalam barisan militer Belanda. Tentara bumiputra yang meninggal karena beri-beri disebabkan karena kekurangan tiamin dari apa yang mereka makan. Mereka memakan beras putih poles yang kurang vitamin, dilain sisi tentara berkebangsaan Belanda mendapatkan nutrisi tambahan yang lengkap. Diskriminasi dalam managemen logistik telah memperlemah kekuatan tentara. Sehingga pada periode kebijakan konsentrasi, Belanda mengalami stagnanisasi yang telah memperpanjang perang. Lamanya waktu dalam menemukan jawaban beri-beri mencerminkan kenapa butuh lama Belanda bisa menaklukan Aceh. Karena serangan wabah beri-beri telah memperlemah kekuatan dan sumberdaya tentara Belanda, akibatnya efektifitas militer Belanda dalam menghadapi tentara Aceh juga melemah, dan ini memperlama waktu jalannya peperangan di Aceh. Keberhasilan menyingkap rahasia beri-beri melalui penelitian panjang di laboratorium Weltevreden, menjadi awal kemenangan Belanda dalam menguasai Aceh. Hal ini juga awal terinstitusinya penaklukan berbagai macam penyakit daerah tropis. Penelitian penyakit beri-beri dalam perang di Aceh memberikan historiografi alternatif yang menyajikan gambaran sudut pandang lain dalam penulisan sejarah perang, yaitu khususnya sudut sejarah sosial dengan dimensi sejarah kesehatan.

This study discusses the epidemic of beri-beri during the war in Aceh in 1873-1929. The outbreak of beri-beri culminated in 1885-1887, making the Netherlands lose more than half of its army. The reduced military was not only due to being evacuated to be healed, but beri-beri resulted in high deaths among forced laborers and native Dutch soldiers. Moreover, in 1886 out of 3,703 European troops evacuated died as many as 114 people, while native soldiers of 9760 people who were evacuated died as many as 547 people. The high imbalance in beriberi victims among Dutch soldiers of Bumiputra compared to soldiers of European nationality led to accusations that the Bumiputra soldiers were carriers of the disease. The fear of extinction of the army among Europeans and paying high costs to recruit new troops prompted the Dutch to issue a particular policy in dealing with beriberi. Through curative and rehabilitative systems, they build a specific hospital for evacuation away from the war location. Then carried out an investigative policy by financing the delivery of Commissie Beri-Beri to the Dutch East Indies but failed. Then founded the Laboratory of Pathologische Anatomy en Bacteriology in Batavia. Eijkman's experiments in this laboratory prove that beri-beri is related to the type of rice consumed. This revealed that beriberi was not a contagious disease but was related to what the Dutch soldiers ate in Aceh. The food problem of Dutch soldiers in Aceh exposed the veils of discrimination in the Dutch military ranks. Bumiputra soldiers who died from beri-beri because of the lack of thiamine from what they ate. They ate polished white rice, which lacked vitamins; on the other hand, the Dutch soldiers received complete nutrition. Discrimination in logistics management has weakened the strength of the army. So that during the period of concentration policy, the Netherlands experienced stagnation, which had prolonged the war. The length of time finding the answer to beriberi reflects why it took the Dutch so long to conquer Aceh. Because the plague of beri-beri weakened the strength and resources of the Dutch army. As a result, the Dutch military's effectiveness in dealing with the Acehnese army was also tired, and this prolonged the time of the war in Aceh. The success of uncovering the secret of beri-beri through long research in Weltevreden's laboratory marked the beginning of the Dutch victory in controlling Aceh. This is also the beginning of the institutionalized conquest of various tropical diseases. Disclosure of the problem of tropical diseases is part of imperial medicine's plan in smoothing the interests of colonialism as a form of covert colonialism. Research into the disease of beri-beri in the war in Aceh provides alternative historiography that presents an overview of other perspectives in the writing of war history, precisely the angle of social history with health history dimensions.

Kata Kunci : Army, Beri-beri, Hospital, Rice, War in Aceh.

  1. S2-2020-420748-Abstract.pdf  
  2. S2-2020-420748-Bibliography.pdf  
  3. S2-2020-420748-Tableofcontent.pdf  
  4. S2-2020-420748-Title.pdf