KUASA PENERTIBAN TANPA PERLAWANAN LANGSUNG: STUDI PEMETAAN GPS PARTISIPATIF DI MAE CHAEM, THAILAND

ADRIANUS VENDA P P, Dr. Agung Wicaksono, M.A.

2020 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGI

Konflik agraria antara orang Karen dan Royal Forestry Departmen (RFD) di pegunungan utara Thailand telah berlangsung lama. Pangkal masalahnya ialah orang Karen yang telah ratusan tahun tinggal di sana tidak direkognisi hak tenurialnya dan hendak dibatasi aksesnya ke hutan karena wilayah tersebut masuk ke dalam Taman Nasional Mae Tho. Konflik tersebut akhirnya mereda pasca diterimanya program pemetaan GPS partisipatif yang digagas oleh LSM dan pemerintah.Program tersebut diterima dengan efektif tanpa perlawanan langsung. Buktinya 80% warga di desa tempat riset saya setuju dengan program tersebut. Beberapa warga bahkan membanggakan program tersebut. Padahal program tersebut melarang warga sekitar meluaskan lahannya di tanah yang telah didiaminya selama ratusan tahun. Berangkat dari kerangka pikir penertiban Michael Foucault saya memberi delapan alasan mengapa program tersebut bisa berjalan efektif. Pertama, insekuritas atas tanah membuat orang Karen meingidam-idamkan rekognisi lahan. Kedua, konstruksi marjinalitas membatasi pilihan mereka. Ketiga, migrasi membuat tekanan atas tanah berkurang. Keempat, jerat utang. Kelima, peran LSM. Keenam, seeting ekonomi-politik Thailand yang neoliberal membuat orang Ban Huay Bong membutuhkan rekognisi legal yang lebih privat; ketujuh penggunaan institusi lokal dan gereja yang mengampanyekan manfaat program. Kedelapan, diciptakannya taman nasional sebagai ruang ekonomi baru. Selain itu, saya juga mengkaji bagimana pemakanaan orang Karen terhadap peta baru yang hadir pasca program pemetaan GPS partisipatif. Dalam temuan saya, rata-rata warga kelas bawah dan menengah di Ban Huay Bong setuju dengan pemetaan partisipatif karena klasifikasi lahan dan rekognisi tenurial yang jelas, membuat akses mereka ke utang yang menjadi bagian penting dalam proses produksi dan reproduksi ekonomi mereka menjadi lebih mudah. Adapun warga kelas menengah atas cenderung kecewa dan menganggap peta baru menghalangi akses mereka untuk ekspansi lahan. Akan tetapi, mereka tetap tidak memperluas lahan atau melakukan perlawanan langsung karena secar populasi kalah dengan jumlah warga yang membutuhkan.

Agrarian conflict between the Karen people and the Royal Forestry Department (RFD) in the northern Thailand has been going on for a long time. The root of the problem is that Karen tenurial rights are not recognized, even they lived there for hundreds years. Their acces to the forest also restricted because the area is included in the Mae Tho National Park. The conflict eventually subsided after the acceptance of the GPS participatory mapping program initiated by NGOs and the government. The program was received effectively without significant resistance. The proof is 80% of residents in the village where my research agrees with the program. Some residents even boast of the program, even the program prohibits local residents from expanding their land on the land they have occupied for hundreds of years. Departing from the Michael Foucault framework of governmentality, I gave eight reasons why the program could run effectively. First, land insecurity makes Karen people crave land recognition. Second, the construction of marginality limits their choices. Third, migration reduces pressure on the land. Fourth, debt bondage. Fifth, the role of NGOs. Sixth,eeolibralism in Thailand make Ban Huay Bong villagers nedd recognize their land more privately; Seventh, the use of local institutions and churches that campaign for program benefits. Eight, the creation of a national park as a new economic space. I also studied how the Karen people interpret the new maps that came after the gps participatory mapping. I found the average lower and middle class citizens in Ban Huay Bong agree with participatory mapping because clearer land classification and tenure recognition makes their access to debt as an important part of their economic production and reproduction processes easier. Meanwhile, the upper middle class people tend to be disappointed and think that the new map hinders their access to land expansion. However, they still do not expand the land or take direct resistance because the population is outnumbered by the needy people.

Kata Kunci : Pemetaan GPS partisipatif, penertiban, konstruksi marjinal, institusi lokal, LSM, utang