Fungsi Partai Politik Sebagai Aktor Intermediari Studi Kasus Sikap Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPD PDI Perjuangan) Dalam Kasus Intoleransi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

FIAN MUHAMMAD R, Ulya Niami Efrina Jamson , S.IP., M.A.

2020 | Skripsi | S1 POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Tingginya angka intoleransi yang terjadi di DIY dalam kurun waktu 5 tahun terakhir membuat situasi sosial politik Yogyakarta semakin menghangat, Sebagaimana data yang dirilis oleh wahid Institute pada tahun 2015. Kenaikan kasus intoleransi DIY sempat mencapai 700 % di tahun 20014, dari hanya 3 kasus di tahun 2013 melonjak menjadi 21 kasus di tahun berikutnya. Dengan tingginya angka intoleransi di DIY ini, tentu saja perlu lebih banyak pihak yang ikut bersikap pada isu ini, terutama partai politik yang selama ini cukup jarang terlihat mengawal isu intoleransi. Selama ini hanya FKUB, LSM dan lembaga keagamaan yang terlihat cukup memiliki sikap dalam isu intoleransi, padahal masyarakat punya partai politik yang sebenarnya secara konstitusional dan demokratis berfungsi sebagai corong warga negara untuk menyampaikan masalah yang terjadi di Indonesia. Maka dari itu penelitian ini akan menggunakan rumusan masalah, yaitu: Bagaimana Sikap PDI-Perjuangan terhadap isu intoleransi di DIY? Apa saja yang melatarbelakangi partai dalam bersikap pada isu Intoleransi? Serta bagaimana mekanisme partai berjalan dalam proses pengambilan sikap pada isu intoleransi ini? Untuk menjawab rumusan masalah pada penelitian ini penulis menggunakan metode studi kasus dengan mengumpulkan data primer (melalui wawancara dengan pengurus DPD PDI-Perjuangan DIY, DPC PDI-Perjuangan Sleman dan MY Esty Wijayanti anggota DPR RI dari PDI-Perjuangan) maupun data sekunder (melalui studi dokumen partai maupun berita di media massa). Penulis juga menggunakan 3 konsep utama yang disusun sebagai kerangka toeri penelitian ini, yaitu: Pertama, Sikap dan Tiga Wajah Partai Politik. Teori ini sendiri berbicara mengenai cara bekerjanya partai politik di berbagai tingkatan, sesuai dengan pemilahan yang di lakukan ada yang di level public office (eksekutif, dan legislatif), di level akar rumput, dan di ruang lingkup mereka sebagai organisasi. Teori tiga wajah ini akan sangat berpengaruh dalam menjelaskan sikap dan respon Partai Politik secara organisasional maupun individual kadernya. Sikap Partai ini sendiri bisa dilacak melalui rilis pers, maupun dalam bentuk tindakan seperti advokasi dan pengiriman bantuan. Kedua, Fungsi Partai Politik (fungsi yang digunakan merupakan fungsi artikulasi, dan agregasi kepentingan). Ketiga, Aktor Intermediari, yang menjelaskan dinamika relasi aktor intermediari yang memiliki kedekatan dengan setidaknya pada salah satu pihak yang berseteru, serta bersedia untuk menjadi jembatan kepentingan antar kubu dalam konflik atau masalah yang sedang terjadi. Selain konsep kunci di atas, terdapat pula intoleransi sebagai kasus yang menjadi acuan dari sikap partai yang penulis teliti, intoleransi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap ketidaksediaan menerima keanekaragaman dan kebebasan beragama yang dianut dan kepercayaan yang diyakini oleh pihak atau golongan lain. Hasil penelitian menenjukan bahwa: Pertama, sikap yang dikeluarkan PDI-Perjuangan DIY merupakan sikap yang tegas melawan intoleransi. Kedua, terdapat 2 faktor yang mendasari sikap DPD PDI-Perjuangan DIY dalam isu intolerasni yaitu faktor ideologi dan faktor kalkulasi elektoral. Ketiga, mekanisme partai yang di lakukan PDI-Perjuangan DIY sejalan dengan penggunaan fungsi partai. Keempat, adanya ketidakpuasan MY Esty Wijayanti dengan minimnya sikap yang dikeluarkan partai dan bergerak sendiri membentuk gerakan sendiri yang banyak diisi oleh aktivis dan akademisi. Hasilnya gerakan yang dilakukan My Esty sebagai kader partai dan aktor individual lebih efektif dan luwes dalam menanggapi isu intoleransi dibandingkan partai.

The high number of intolerance that occurred in DIY in the last five years made the socio-political situation of Yogyakarta warmer, As data released by Wahid Institute in 2015. The increase in cases of DIY intolerance had reached 700% in 20014, from only 3 cases in the year 2013, jumped to 21 cases the following year. With the high number of intolerance in DIY, of course, more parties need to be involved in this issue, especially political parties, which have rarely seen guarding the issue of intolerance. So far, only FKUB, NGOs, and religious institutions seem to have sufficient attitudes on the issue of intolerance, even though the public has political parties that are constitutionally and democratically functioning as a mouthpiece of citizens to convey problems that occur in Indonesia. Which made this study will use the formulation of the problem, namely: What is the attitude of the PDI-Struggle towards the issue of intolerance in DIY? What is the background of the party in behaving on the issue of intolerance? Moreover, how does the party mechanism work in the process of taking a stand on this issue of intolerance? To answer the problem formulation in this research, writers use the case study method. The procedure of this method works by collecting primary data (through interviews with the DPD PDI-Perjuangan DIY board, DPC PDI-Perjuangan Sleman, and MY Esty Wijayanti, one of Indonesia's Parliament member from the PDI-Perjuangan). By still using the study case method, the writer also collected secondary data (through studies, party documents, and news in the mass media). The author also uses three main concepts compiled as a framework for this research, namely: First, Attitudes, and Three Faces of Political Parties. This theory itself talks about the workings of political parties at various levels, according to the sorting done at the public office level (executive and legislative), at the grassroots level, and in their scope as an organization. This three-face theory will be very influential in explaining the attitude and response of Political Parties in an organizational or individual cadre. There are two ways to understand the standing position of a political party. Writers could trace a standing point of a political party through press releases, as well as in the form of actions such as advocacy and sending aid. Second, the Function of Political Parties (the function used is a function of articulation and aggregation of interests). Third, the Intermediary Actor, which explains the dynamics of the relations between intermediary actors who have closeness with at least one of the opposing parties, and is willing to become a bridge of interest between the parties in the conflict or problem that is happening. In addition to the fundamental concepts above, intolerance just like what the case stated above becomes one of a refrence point pointing to the attitudes of a political party that what the author is concerned about. intolerance referred to in this study is the attitude of unwillingness to accept diversity and religious freedom adhered to and beliefs believed by other parties or groups. The results of the study indicate that: First, the attitude issued by the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-Perjuangan) is a strict attitude against intolerance. Second, 2 factors underlie the attitude of DPD PDI-Perjuangan DIY in the issue of intolerance, namely ideological factors and electoral calculation factors. Third, the party mechanism carried out by PDI-Perjuangan DIY is in line with the use of party functions. Fourth, MY Esty Wijayanti's dissatisfaction with the lack of attitudes issued by the party and moves to form their movements that are full of activists and academics. As a result, the movements undertaken by My Esty as party cadres and individual actors are more effective and flexible in responding to the issue of intolerance than the party.

Kata Kunci : Sikap Partai, Ideologi, Aktor intermediari, Intoleransi.