Laporkan Masalah

Asap Hio di Ranah Minang :: Kehidupan komunitas Tionghoa di Sumatera Barat pada pertengahan abad XIX sampai awal abad XX

ERNIWATI, Dr. Bambang Purwanto, MA

2002 | Tesis | S2 Sejarah

Penelitian ini ditekankan pada kehidupan komunitas Tionghoa yang tinggal di Sumatera Barat, pada pertengahan abad XIX sampai awal abad XX, meliputi proses dan pendorong kedatangan, terbentuknya pemukiman, struktur sosial politik, organisasi, dan pendidikan. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan melakukan penelitian arsip dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa factor-faktor yang mendorong orang Tionghoa datang ke Sumatera Barat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan politik. Pada mulanya imigran Cina yang datang hanya laki-laki, sehingga terjadi perkawinan dengan wanita pribumi yang kemudian membentuk komunitas Tionghoa peranakan. lmigran Cina yarfg datang setelah akhir abad XIX membawa wanitanya yang kemudian membentuk komunitas Tionghoa totok. Orang Tionghoa banyak tinggal di daerah pesisir, namun sejak pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang hak milik tanah liar pada tahun 1873, banyak orang Tionghoa yang tinggal di kota-kota di pedalaman Sumatera Barat, seperti di Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Sawahlunto, Solok. Biasanya mereka tinggal secara berkelompok di daerah pecinan. Orang Tionghoa berhasil membangun perekonomiannya dengan keahliannya dalam berdagang. Walaupun dengan kesempatan yang terbatas, namun mereka mampu menguasai beberapa komoditi penting, terutama ekspor dan impor serta peranannya yang penting dalam perekonomian desa dengan memperkenalkan sistim mindering dan julu-julu. Orang Tionghoa di Sumatera Barat menganut sistem kekeluargaan bilineal dan selalu mengharuskan untuk menghor ti orang tua (xiao). Sebagian besar orang Tionghoa di Sumatera Barat meng r ut ajaran Konghucu. Sebagian menganut ajaran Budha, Kristen, dan sebagian kecil Islam, namun mereka pada umumnya lebih mendahulukan pelaksanaan upacara leluhur. Anak-anak Tionghoa belajar di sekolah khusus untuk orang Tionghoa yaitu Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau di sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 yaitu, Hollands Chineesche School (HCS). Tionghoa peranakan aktif dalam politik di Hindia Belanda, sedangkan Tionghoa totok berorientasi kepada budaya dan negara leluhur Cina dengan aktif menjalankan propagandapropaganda politiknya melalui bidang pendidikan (THHK). Tionghoa peranakan yang memperoleh pendidikan Eropa mendirikan Chung Hua Chung Hui (CHCH) dan mempunyai wakilnya di Minangkabau Raad.

This thesis is focused on the life of Chinese community in West Sumatra from mid-nineteenth century to early twentieth century, covering the cause and process of migration, establishment of settlement, sociopolitical structure, organization, and education. This study uses historical method and applies archive and library research. Research findings show that Chinese migrations to West Sumatra was mainly caused by economic and political reasons. The first migrants were all men. It caused intermarriage with local women which, later, developed into the socalled "Tionghoa peranakan". Migrants wko came at the beginning of twentieth century took with them their women which were to develop into "Tionghoa totok". Most of these Chinese migrants lived in coastal area. After Dutch government regulated land tenure ship in 1873 more and more Chinese lived in towns in the interior part of West Sumatra such as Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Sawahlunto, and Solok. Normally they grouped themselves in Chinatowns. Despite limited opportunities the Chinese migrants proved themselves to be skillful traders and economically successful. They monopolized important commodities and played an important role in developing rural economy by introducing "rnindering" system and "julu-julu". Chinese migrants in West Sumatra were bilineal and were obliged to respect their elderly (xiao). Most of the migrants adhered Confusianism. The rests were Budhists, Christians, and very few of them were Moslems. Chinese children studied at schools founded by Chinese community (Tiong Hoa Hwe Koan) or at public schools. Dutch government established Hollands Chinesche School in 1908. The Tionghoa peranakan paid much attention to Netherlands India politics on the one and on hand Tionghoa totok were very concerned with the maintaining cultural orientation to the other hand, and relationship with the mainland China. They actively spread their propaganda through education (THHK). Tionghoa peranakan received European school, than founded Chung Hua Chung Hui (CHCH), and some of them have a position in Minangkabau Council

Kata Kunci : Sejarah Indonesia,Komunitas Tionghoa,Sumatera Barat Abad 19 dan 20


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.