EUFEMISME DALAM DEBAT PILKADA DKI TAHUN 2017
NINA SULISTYOWATI, Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A.
2020 | Tesis | MAGISTER LINGUISTIKSifat eufemisme yang menyamarkan maksud sesungguhnya yang bernada kasar dengan ungkapan halus menjadikan eufemisme sebagai gaya bahasa pilihan politisi dalam menyampaikan argumen dalam debat politik. Penelitian ini berusaha mengkaji penggunaan eufemisme dalam debat pilkada DKI tahun 2017. Penelitian ini membahas proses pembentukan, fungsi dan topik eufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah video debat pilkada DKI tahun 2017 pada putaran pertama yang diselenggarakan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data dikumpulkan dengan metode simak dan teknik catat. Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode agih dan padan dengan teknik lanjutan berupa teknik subtitusi dan parafrasa. Pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori Allan&Burridge (1991) dan Wijana (2008) tentang eufemisme. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan 7 proses pembentukan eufemisme dalam debat pilkada DKI tahun 2107, yaitu: 1) ekspresi figuratif, 2) flipansi, 3) sirkumlokusi, 4) satu kata untuk menggantikan kata lain, 5) umum ke khusus, 6) hiperbola, dan 7) penggunaan istilah pinjaman dari bahasa lain. Lebih lanjut, tidak semua fungsi eufemisme dalam teori Wijana (2008) ditemukan dalam debat pilkada DKI ini. Dari 5 fungsi yang ada, hanya 3 fungsi yang muncul, yaitu sebagai alat untuk menghaluskan ucapan, untuk merahasiakan sesuatu dan untuk berdiplomasi. Akan tetapi, dalam penelitian ini ditemukan fungsi lain eufemisme dalam ranah debat, yaitu sebagai alat untuk membentuk citra positif di mata masyarakat, untuk mengkritik kebijakan lawan politiknya dan menjatuhkan lawan politik. Dalam debat pilkada DKI tahun 2017, eufemisme digunakan dalam beberapa topik yang berbeda, yaitu: kemiskinan, penggusuran, pemerintahan, kematian, korupsi, banjir, disabilitas, sifat/keadaan. Dalam debat politik, eufemisme bukan semata-mata digunakan untuk menghaluskan ucapan, namun, digunakan sebagai wahana mencari simpati dan dukungan rakyat. Para kandidat membolak-balikan fakta melalui bahasa yang mereka gunakan untuk melancarkan kepentingan politiknya. Dalam hal ini, para politisi tersebut menggunakan eufemisme sebagai propaganda untuk mengejar kekuasaan.
The nature of euphemism which disguises the real intention that rough in true with subtle expression makes euphemism a style of choice for politicians in presenting arguments in political debate. This study is aimed at examining the formation processes, functions and topics of euphemism found in Jakarta governor election debate 2017. In this study, the main data sources were the first session of videos of Jakarta governor election debate 2017, organized legally by General Elections Commission (KPU). The data were collected through observing and taking notes. The data were analyzed through distributional, identity method, and applied substitution and paraphrasing techniques. Furthermore, the categorization referred to the euphemism theory of Allan&Burridge (1991) and Wijana (2008). The result of the study shows that there are 7 formation processes of euphemism found in Jakarta governor election debate 2017, such as: 1) figurative expression; 2) flippancy; 3) circumlocution; 4) substitution; 5) general to specific; 6) hyperbole; and 7) loanwords. Besides, not all types of euphemism functions in Wijana (2008) are discovered in Jakarta governor election debate 2017. This study finds that there are three from total five functions of euphemism: 1) refinement devices; 2) concealment devices; and 3) diplomation devices. However, this study reveals the other new functions of euphemism, such as establishing a positive self presentation, political criticism, and toppling political opponents. In Jakarta governor election debate 2017, it is discovered that euphemisms are applied in several different topics like eviction, poverty, government, corruption, flood, disabilities and certain characteristics or condition. This research indicates that in political debate, euphemism is not only used for politeness but also for gaining people�s sympathy and support. The candidates manipulate the facts through languages they use to achieve their political goals. In short, the politicians tend to use euphemism as the propaganda to get the power.
Kata Kunci : Eufemisme, Debat Politik