Laporkan Masalah

Yang Baik Dirawat, Yang Buruk Diruwat: Memaknai Ulang Instrumen Kekuasaan Keraton Yogyakarta

RAMADHANTI F, Dr. Abdul Gaffar Karim, S.IP, M.A.

2020 | Skripsi | S1 POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Yogyakarta sebagai daerah istimewa lahir berdasar hasil konstruksi historis dan politis. Kemudian realitas sosial-budaya masyarakat turut andil memberikan legitimasi kepada otoritas kraton untuk terus berkuasa. Realitas sosial-budaya tersebut dihidupkan salah satunya melalui kebudayaan yang bersifat benda maupun tak benda; seperti busana dan mitos. Sebagai daerah yang dikonstruksi memiliki kekuasaan berbasis nilai mistis-religius, dan istimewa karena kebudayaan yang masih murni, Keraton Yogyakarta dihadapkan pada konteks perkembangan peradaban modern. Modernitas salah satunya menawarkan paradigma berpikir rasional, tawaran atas kebebasan berekspresi, serta kemajuan teknologi yang berkembang secara cepat. Menanggapi hal tersebut, didukung dengan disahkannya Undang-Undang Keistimewaan (UUK), Kraton Yogyakarta menambah satu tepas (kantor) di bawah Kantor Sekretariat Negara Kraton (Kawedanan Hageng Panitrapura) yang disebut Tepas Tandha Yekti. Tepas Tandha Yekti bertugas untuk melakukan arsip atas seluruh kekayaan kraton baik berupa benda maupun tak benda, kemudian melakukan publikasi melalui seluruh media digital milik kraton, serta menyelenggarakan acara untuk mengenalkan kebudayaan kraton dengan cara modern. Sedangkan dari luar kraton, berkembang suatu Paguyuban Dimas Diajeng yang disiapkan sebagai Duta Wisata dan Budaya. Dalam hal kebudayaan, Dimas Diajeng berusaha menjadi pelopor pemuda berbudaya dan berkarakter Yogyakarta. Menjadi hal menarik untuk mendalami dinamika keraton yang dibangun berdasar legitimasi mistis-religius (tradisional), kemudian didukung oleh legitimasi dari otoritas kekuasaan Republik Indonesia. Isu suksesi raja perempuan, tren berbusana modern, serta gelombang pemikiran rasional patut dijadikan alat untuk menguji terkait cara kraton mempertahankan atau mereproduksi kekuasaannya berdasar realitas sosial yang ada saat ini. Hal ini bertambah menarik ketika melihat kraton telah menambah agen kekuasaan, baik yang secara formal berada di bawah struktur maupun yang secara informal mengikuti nilai-nilai kebudayaan kraton. Dengan konsep Keraton dalam Kekuasaan Jawa, Strukturalisme-Konstruktif milik Pierre Bourdieu, serta Mitos dan Desakralisasi milik Mircea Eliade, penelitian ini diharap mampu menjelaskan proses reproduksi kuasa yang dilakukan oleh kraton menghadapi perkembangan zaman. Riset ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dan wawancara, selanjutnya divalidasi menggunakan teknik triangulasi. Dari serangkaian proses tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam melakukan reproduksi kuasa berdasarkan legitimasi budaya, kraton menanamkan nilai-nilai kepakeman busana melalui Dimas Diajeng Yogyakarta. Busana pakem menjadi instrumen penting dalam kajian legitimasi budaya, sebab mereka mencerminan kemampuan penguasa untuk mempertahankan jati diri masyarakat di bawah kekuasaannya. Meski bukan agen yang secara langsung dibentuk oleh kraton, namun nilai-nilai terkait kraton menjadi materi sekaligus syarat wajib bagi peserta Dimas Diajeng. Peran mereka juga secara tidak langsung saling berkaitan dengan Tepas Tandha Yekti dengan melakukan kerjasama dalam berbagai bentuk kegiatan kebudayaan. Dimas Diajeng yang diisi oleh anak muda dan Tepas Tandha Yekti yang mengusung nilai keraton milenial juga membuat keduanya memiliki kemiripan karakter. Sedangkan untuk menghadapi gelombang rasionalisasi dan keterbukaan, kraton mulai mengizinkan busana yang semula hanya diperuntukkan kalangan kraton menjadi busana yang dapat dikenakan oleh semua kalangan. Selain itu, kraton secara tidak langsung menggeser makna mitos Kanjeng Ratu Kidul untuk meminimalisir kemungkinan disintegrasi sosial dan penolakan pemimpin perempuan disebabkan oleh kepercayaan lama bahwa Ratu Kidul secara turun-temurun merupakan istri Raja Mataram. Sehingga mitos Ratu Kidul harus diredefinisi maknanya agar tidak menganggu potensi suksesi raja perempuan tersebut. Istilah yang baik dirawat, yang buruk diruwat, menggambarkan proses-proses reproduksi kekuasaan yang dilakukan oleh Kraton Jogja untuk mempertahankan legitimasi serta penguasaan atas basis-basis materi.

Yogyakarta as a special region was born based on historical and political construction. Then, the socio-cultural of the people contributes to the court's legitimacy to continue its power. One of the socio-cultural realities is alive through culture; like cloth and myths. As a region that is constructed has power based on mystical-religious values, and being special because of its pure culture, Keraton Yogyakarta is faces the development of modern civilization context. Modernity offers the paradigms of rational thinking, freedom of expression, and technological advances that are developed quickly. Responding to this, supported by the passing of the Privileges Act, Keraton Yogyakarta augment an office called Tepas under the Keraton State Secretariat Office named Kawedanan Hageng Panitrapura, the office is called Tepas Tandha Yekti. Tepas Tandha Yekti do archive the entire wealth of the Keraton, then do publications through all digital media of Keraton, and hold events to introduce the culture of Keraton in a modern way. Meanwhile, from the outside, Keraton is developing the Dimas Diajeng as a Tourism and Culture Ambassador. In terms of culture, Dimas Diajeng tried to become a pioneer of cultered youth in Yogyakarta. It is interesting to know more about how Keraton Yogyakarta who built based on mystical-religious values, finally supported by Indonesian Government. Succession issues, trend of modern cloth, and waves of rational thinking, they are should be examine related to how Keraton Yogyakarta reproduce its power based on social realities in this time. The topic are more interesting when we try to look how Keraton also augment its agent of power in formal and informal ways. This study is going to explain thoses issues by using the power in Javanese culture concept, structuralism-constructivism theory of Pierre Bourdieu, and myth concept of Mircea Eliade. This reasearch is using a qualitative method, also deepth interviewand literature review as its data collect techniques, then be validated with triangulation techniques. This study concludes that: 1) Keraton Yogyakarta is using the traditional cloth by Dimas Diajeng to reproduce its legitimacy of culture. Traditional cloth being an impotant thing because it is reflected how Keraton can be maintain the identity of Yogyakartans under its control; 2) Dimas Diajeng also indirectly has a relation with Tepas Tandha Yekti in case of cultural events because both of them have similar characteristic; 3) Keraton Yogyakarta, during faces the modern era, let the people wear traditional cloths which in the beginning only Keraton can wear them; 4) Keraton also redefine the meaning of Kanjeng Ratu Kidul myth to minimize the probability of social disintegration and refusal of women leader. It is because Kanjeng Ratu Kidul is trusted as a Queen of Sultan from one generation to another. The term of keeping the good, throwing away the bad describes the reproduction of power of Keraton Yogyakarta to maintaining its legitimacy.

Kata Kunci : Dimas Diajeng, kekuasaan, legitimasi, mitos, Tepas Tandha Yekti

  1. S1-2020-394649-abstract.pdf  
  2. S1-2020-394649-bibliography.pdf  
  3. S1-2020-394649-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2020-394649-title.pdf