Laporkan Masalah

POLITIK HUKUM PENGATURAN KEPERCAYAAN DI INDONESIA

VALERIANUS B. JEHANU, Andy Omara, S.H., M.Pub&Int.Law, Ph.D

2020 | Tesis | MAGISTER HUKUM BISNIS DAN KENEGARAAN

Penelitian ini berusaha menjawab gagasan dibalik pemisahan kata agama dan kepercayaan dalam rumusan Pasal 29 UUD NRI 1945. Hal ini penting untuk ditemukan guna menjawab persoalan mendasar dalam dinamika pengakuan negara atas kelompok warga negara di luar agama-agama yang diakui, dalam hal ini adalah penghayat kepercayaan. Kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia sendiri tidaklah tunggal, ada yang tergolong sebagai agama-agama lokal, ada juga yang merupakan sinkretisme agama. Pengertian sinkretis adalah menjalankan agama dan kepercayaan sekaligus. Praktik sinkretisme sendiri dalam perkembangannya timbul karena politik agama yang berselancar sepanjang sejarah Indonesia. Harapan akan adanya perlakuan yang setara kemudian menguat setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan judicial review Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) juncto Pasal 61 ayat (4) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam pertimbangannya Mahkamah menyatakan bahwa agama dan kepercayaan adalah dua hal berbeda namun setara, sehingga dalam amar Putusan MK menyatakan bahwa identitas kepercayaan dalam Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga juga harus ditampilkan seperti halnya penganut agama. Tafsir MK yang demikian menguatkan kebutuhan untuk mengamati maksud pencantuman kata kepercayaan dalam pembentukan UUD 1945, lalu mengamati dinamika tafsirnya dari waktu ke waktu hingga diketahui seberapa jauh daya jangkau Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 dapat menyelesaikan persoalan diskriminasi bagi penghayat kepercayaan. Berdasarkan kebutuhan itu maka penelitian ini menggunakan tiga rumusan masalah. Pertama bagaimana perdebatan pencantuman kata kepercayaan di samping agama dalam pembahasan Pasal 29 UUD NRI 1945. Kedua bagaimana politik hukum pengaturan kepercayaan di Indonesia. Ketiga bagaimana dampak Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 terhadap politik hukum pengaturan kepercayaan di Indonesia. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kata kepercayaan diusulkan oleh Wongsonegoro sebagai reaksi atas usul Otto Iskandardinata sehingga kata kepercayaan bermakna ke dalam sebagai padanan kata syariat bagi pemeluk agama selain Islam. Dalam perkembangannya kata ini berubah makna menjadi entitas tersendiri diluar agama. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta kebijakan SKK Golkar untuk mempertegas status konstitusional kepercayaan. Multitafsir ini juga berdampak pada usulan menghilangkan kata kepercayaan di Pasal 29 UUD 1945. Usulan perubahan dalam sidang amandemen 1999-2002 ini menunjukkan bahwa ada beragam tafsir atas kata kepercayaan di Pasal 29 UUD 1945, sekalipun pada akhirnya rumusan ini tidak mengalami perubahan.

This research tries to answer the idea behind the separation of the two words religion and belief in the formulation of Article 29 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Belief groups in Indonesia itself are not single, some are classified as local religions, some are religious syncretism. The meaning of syncretism is to practice religion and belief at the same time. The practice of syncretism itself in its development arises because of religious politics that have surfed throughout Indonesian history. Hopes for equal treatment then strengthened after the Constitutional Court granted all judicial review requests for Article 61 paragraph (1) and Article 64 paragraph (1) juncto Article 61 paragraph (4) and Article 64 paragraph (5) of the Republic of Indonesia Law No. 23 Year 2006 concerning Resident Administration. In its consideration the Court stated that religion and belief are different but equal matters, so in the Court's Decision the Constitutional Court stated that the identity of belief in the Identity Card and Family Card must also be displayed as well as religious adherents. Such an interpretation of the Constitutional Court strengthen the need to observe the intention of placing belief in the formation of the 1945 Constitution, then observe the dynamics of its interpretation from time to time, until can be answer how far the reach of Constitutional Court Decision Number 97 / PUU-XIV / 2016 resolving discrimination for belief groups. Based on this necessary, this thesis uses three problem formulations. First, how the discussion of Article 29 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Second, how is the legal politics of religious belief regulation in Indonesia. Third, how does the Constitutional Court Decision Number 97 / PUU-XIV / 2016 affect the legal politics of religious belief regulation in Indonesia. The results of this study found that the word belief was proposed by Wongsonegoro as a reaction to the proposal of Otto Iskandardinata so that the word belief means inward as an equivalent word for sharia for adherents of religions other than Islam. In its development this word changed meaning into a separate entity outside of religion. This cannot be separated from the existence of Law Number 1 / PNPS / 1965 concerning Prevention of Abuse and / or Blasphemy of Religion and SKK Golkar's policy to reinforce the constitutional status of belief. This multi-interpretation also had an impact on the proposal to eliminate the word belief in Article 29 of the 1945 Constitution. The proposed changes in the 1999-2002 amendment session showed that there were various interpretations of the word belief in Article 29 of the 1945 Constitution, although in the end this formula didn't change.

Kata Kunci : Kepercayaan, Agama, Politik Hukum, Konstitusi

  1. S2-2020-417830-abstract.pdf  
  2. S2-2020-417830-bibliography.pdf  
  3. S2-2020-417830-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2020-417830-title.pdf