Dinamika Meruang Kaum Transpuan di Yogyakarta
ANINDYAJATI P, Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D
2019 | Tesis | MAGISTER PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTAPenelitian ini bertujuan untuk menjabarkan tentang dinamika meruang kaum transpuan sebagai kelompok marjinal di tengah kehidupan masyarakat. Fokus penelitian berada pada dua organisasi transpuan serta kelompok pengamen waria di wilayah Yogyakarta. Kelompok transpuan yang pertama adalah Yayasan Kebaya (Keluarga besar waria Yogyakarta) yang berfokus mengenai permasalahan kesehatan transpuan karena banyaknya transpuan yang mengidap penyakit HIV/AIDS. Kelompok transpuan kedua yaitu Pesantren Waria Al-Fatah, sebuah perkumpulan transpuan yang berfokus terhadap religiusitas kaum transpuan. Kelompok transpuan yang ketiga yaitu kelompok pengamen transpuan di daerah Bogem. Keberadaan beberapa kelompok transpuan yang mencoba tetap eksis tersebut menjadi bukti bahwa mereka adalah bagian dari kaum marjinal yang mencoba untuk mendapatkan kesetaraan hak di ruang perkotaan. Namun upaya-upaya kaum transpuan tersebut juga tidak lantas dapat dibenarkan mengingat ruang kota adalah ruang sosial yang mempunyai norma-norma sosial di dalamnya. Kondisi tersebut memicu munculnya konflik sosio-spasial. Konflik-konflik tersebut berupa penolakan sekelompok orang terhadap keberadaan pesantren waria dan penerapan kebijakan pemerintah yang menolak keberadaan transpuan di tempat umum. Di sisi lain, upaya untuk menciptakan kota yang inklusif juga menjadi salah satu isu perkotaan masa kini. Melalui pendekatan kualitatif, peneliti melakukan indepth interview mengenai proses kemunculan ruang-ruang transpuan ini. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana masyarakat memahami sebuah ruang, selain itu juga terdapat konflik-konflik ruang yang memiliki eskalasi serta pengendalian yang berbeda. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bentuk konflik dan pengendalian terhadap permasalahan keberadaan transpuan sebagai kaum marjinal di perkotaan sekaligus dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan tentang bagaimana sebaiknya sebuah kota menjadi ruang yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat.
This research describes how the dynamics of the transgender as a marginal group to create a space in the middle of society. The focus of this research was on two transgender organizations and the transgender buskers groups in the Yogyakarta region. The first transgender organization is an NGO called Kebaya (Keluarga besar waria Yogyakarta) that focuses on transgender health problems because many transgender have HIV/ AIDS. The second transgender organization is Pesantren Waria Al-Fatah, a transgender association that focuses on the religious issues of the transgender. The third transgender group is transgender buskers in the Bogem area. The existence of the transgender space is reality that they are part of the marginalized who try to get equality of the right to live in urban space. However, the efforts of the transpans also cannot be justified because the urban space is a social space that has social norms in it. This condition triggers the emergence of socio-spatial conflicts. These conflicts include the rejection from a group of people to the existence of Pesantren Waria and the adoption of policies from the government that reject the existence of transgender groups in public places. On the other hand, the efforts to create an inclusive city are also one of the urban issues of today. Through a qualitative approach, researchers conducted in-depth interviews about the process of the existence of these transgender spaces. The results showed how the people understands a space. In addition there were also spatial conflicts with different escalations and controls. This research is expected to provide an overview of the forms of conflict and control over transgender issues as marginalized in urban areas at the same time can be additional knowledge about how a city should be an inclusive space for all levels of society.
Kata Kunci : Kata kunci: transpuan, Yayasan Kebaya, Pesantren Waria Al Fatah, konflik, Yogyakarta.