politik Teritorial dan Perampasan Tanah-Hutan di Desa Lingkar Tambang Bijih Besi di Kecamatan Lede, Kabupaten Taliabu, Provinsi Maluku Utara
RAHMAT HIDAYAT, Dr. Sita Hidayah, M.A
2020 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGIPolitik teritorialisasi negara yang membagi sumber daya alam ke dalam pengaturan-pengaturan khusus, seperti penetapan hutan, telah memfasilitasi hadirnya PT. Adidaya Tangguh di dalam hutan Taliabu. Kehadirannya, telah merampas hak-hak kepemilikan tradisional masyarakat atas sumber daya alamnya (tanah dan hutan). Kondisi ini membuat masyarakat tidak tinggal diam. Berbagai macam cara ditempuh, dari mengkontestasikan wacana tanah ulayat suku, sampai dengan gerakan perlawanan melalui aksi-aksi demo menuntut perusahaan bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang mereka rasakan. Maka dari itu, penelitian ini ingin menjawab : (1) Bagaimana bentuk rasionalisasi kepemilikan atas ruang teritorial-politis oleh perusahaan dan masyarakat di desa lingkar tambang bijih besi di Kabutapen Taliabu, Maluku Utara?; (2) Apa implikasi klaim kepemilikan tanah oleh perusahaan dan masyarakat?; (3) Mengapa masyarakat desa Tolong dan Todoli melawan menggunakan identitas masyarakat adat? Selama lebih 2 bulan penelitian, terhitung dari 19 Juni sampai pada tanggal 27 Agustus 2019. Penelitian ini menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, penulis menemukan bahwa sebenarnya, masyarakat suku Mange di desa Todoli dan Tolong pernah hidup di dalam bentuk kesatuan institusi lokal otonom, komunitas-komunitas kecil yang disebut Soa jauh sebelum adanya negara Indonesia merdeka sebagai bangsa. Kedua, penulis menemukan konsep teritorialisasi tradisional orang-orang suku Mange mengenai tanah hutan yang tidak lagi dilihat sebagai kalia, atau hutan lebat yang keramat bagi masyarakat suku Mange. Hutan tinggallah kesatuan dusun-dusun dan ginang peninggalan nenek moyang mereka. Suku Mange pasca melakukan inkorporasi dengan sistem pemerintahan dari Kesultanan, Orde Lama, Orde Baru dan era Desentrasliasi secara berangsur-angsur dilemahkan. Ekspansi kapital pertambangan ke daerah mereka yang difasilitasi oleh pemerintah daerah, telah merampas dan merusak tanah-hutan mereka. Perampasan ini membawa masyarakat pada aksi perlawanan terbuka, dengan menyuarakan tuntutanya kepada PT. Adidaya Tangguh melalui gerakan perlawanan adat dan petani di desa Todoli dan Tolong. Perlawanan ini mendapat represi, kekerasan dan teror dari alat represi negara (kepolisian). Perlakuan ini telah berhasil menciptakan kekuasaan, terwujud dalam empat bentuk. Pertama, memilih jalur hukum untuk menuntut ganti rugi, kedua, mensertifikatkan lahan kebunnya, ketiga, secara individu berkunjung langsung ke perusahaan untuk menyelesaikan tuntutannya, keempat, masyarakat saat ini tidak lagi menuntut ganti rugi atas tanahnya, melainkan sebatas tuntutan ganti rugi tanaman saja.
The country's territorial politics divide natural resources into specific arrangements, such as forest designation which has facilitated the presence of a mining company PT. Adidaya Tangguh in the Taliabu forest. The presence of PT. Adidaya Tangguh has usurped the traditional rights of communities over their natural resources (land and forests). This condition forced the community to take action. Various kinds of protests, from contesting tribal's ulayat land discourse, to resistance movements through demonstrations demanding company responsibilities for the their losses. Therefore, this research would like to answer: (1) What is the rationalization of ownership of political space by companies and communities in the villages surrounding the iron ore mine in District of Taliabu, North Maluku?; (2) What are the implications of land claims by companies and communities? (3) Why do the villagers of Tolong and Todoli oppose the use of the identity of indigenous peoples? This research was conducted for more than 2 months, starting from June 19 to August 27, 2019. This study found several conclusions. First, the Mange tribe in Todoli and Tolong villages had lived a form of an autonomous local institutional unity, small communities called Soa, long before the independence of Indonesia as a nation. Second, the author discovers that the traditional territorial concept of the Mange people regarding the forest land, which is no longer seen as kalia, or the sacred forest to the Mange people. The forest is the unity of hamlets and ginang left by their ancestors. After the Mange tribe incorporated to the goverment system, since Kesultanan, Orde Lama, Orde Baru until Desentralisasi era, gradually weaked. The ekspansion of mining capital into their regions was facilitated by local goverment had grabbed and destroyed their land-forest. This grabs led the people to open resistance, voicing their demands to PT. Adidaya Tangguh through an indigenous movement, and the other is a peasant one in the village of Todoli and Tolong. The Tolong and Todoli villagers received repressions, violences and terrors from the state repression tools (the police). These treatments have succeeded in creating other avenues, manifested in four forms. First, the community chooses legal channels to demand compensation from the company; second, the community certify their farmland for fear of being seized at any given time; third, individuals choose to visit the company directly to resolve their demands; fourth, the community not demand compensation for their land, but limited to claims for compensation to plants.
Kata Kunci : Teritorialisasi, Suku Mange, PT. Adidaya Tangguh, Perlawanan, Territorialised, Mange Tribe, PT. Adidaya Tangguh, Resistance