Laporkan Masalah

REMBUG DESA DALAM PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN DESA DI YOGYAKARTA 1970an-1980an

AMALA EKA PARAMITA, Dr. Agus Suwignyo, M.A.

2019 | Skripsi | S1 SEJARAH

Penelitian ini membahas mengenai eksistensi rembug desa atau musyawarah desa, yang secara spesifik mengambil batasan spasial di Daerah Istimewa Yogyakarta. Rembug desa adalah salah satu nilai tradisional dalam pola pengambilan keputusan di tingkat desa, yang telah dilakukan secara turun-temurun. Sepanjang sejarahnya, rembug desa memainkan peran utama dalam segala keputusan yang muncul di tingkat desa, dengan kata lain rembug desa adalah tingkatan tertinggi dalam struktur masyarakat desa. Pada periode kolonial Hindia Belanda, desa tidak dipandang sebagai salah satu elemen yang penting. Hampir tidak terdapat kebijakan pemerintah kolonial yang mengatur desa secara spesifik, begitu pula dengan masa pendudukan Jepang yang tergolong sangat singkat untuk memberi perubahan yang masif pada desa dan masyarakatnya. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, terdapat upaya-upaya pengembangan masyarakat dan birokrasi desa, meskipun realisasinya terhalangi oleh instabilitas politik dan ekonomi di sepanjang periode 1950an hingga 1960an. Kebijakan pengembangan desa baru mulai dilakukan secara serius pada masa pemerintahan Orde Baru, dengan dicanangkannya REPELITA sejak tahun 1969. Secara bertahap pemerintahan Orde Baru melakukan pengembangan terhadap masyarakat dan birokrasi desa, melalui UU No. 5 Tahun 1979 yang mengatur Pemerintahan Desa, dan pembentukan LKMD pada tahun 1980. Akan tetapi, perubahan yang terjadi di desa selama periode Orde Baru tidak serta merta mengubah seluruh nilai yang ada di desa, khususnya pola pengambilan keputusan secara tradisional dalam rembug desa. Rembug desa dapat mempertahankan eksistensinya, bahkan pemerintahan Orde Baru memanfaatkan rembug desa untuk menggerakkan partisipasi masyarakat desa dalam melaksanakan program pembangunan pemerintah Orde Baru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah yang menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer penelitian ini berasal dari Arsip Nasional Republik Indonesia, BPAD Daerah Istimewa Yogyakarta, serta surat kabar sezaman. Sedangkan sumber sekunder berasal dari buku, jurnal dan artikel ilmiah.

This study discusses about the existence of village meeting or deliberations in traditional way, specifically take place in special region of Yogyakarta. Village meeting is one of traditional ways to take any decision making at village level, which has been done for generations. Throughout its history, village meeting played major role in every decision making that emerged at village level, in other words village meeting were the top level in the village community structure. In the Dutch East Indies period, village was not seen as important element. There was almost no colonial policy that specifically regulates villages, as well as the Japanese occupation short period to provide massive changes in villages and its people. After the Independence Day, there were some efforts to develop the community and its bureaucracy, although the realization was obstructed by politic and economic instability throughout 1950s to 1960s. Village development policy began to be carried out seriously during the New Order government, marked by the launch of REPELITA since 1969. Gradually, the New Order government expanded the community and villages bureaucracy through UU No.5/1979 which regulates Village Government and the formation of LKMD in 1980. However, change that occurs in villages during New Order did not necessarily changes all the values, especially in traditional decision making pattern on village meeting. Village meeting could maintain its existence, even New Order government took advantages to mobilize village community participation to fulfill the development of New Order government. The method used in this study is historical research method which using primary and secondary sources. Primary sources in this studies was taken from National Archives of Indonesia, BPAD Daerah Istimewa Yogyakarta, and also contemporaneous newspapers. While secondary sources taken from books, journals, and scientific articles.

Kata Kunci : rembug desa, musyawarah, orde baru

  1. S1-2019-334954-abstract.pdf  
  2. S1-2019-334954-bibliography.pdf  
  3. S1-2019-334954-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2019-334954-title.pdf