Tantangan Partisipasi Politik Perempuan Minangkabau Studi Kasus Terpilihnya Wali Nagari Perempuan Sulit Air
Julia Lara Zamzamy, Ag. Kustulasari 81, S.Pd.,M.A.
2019 | Skripsi | S1 MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIKPenelitian ini bertujuan untuk melihat tantangan yang dihadapi oleh perempuan Minangkabau menjadi pemimpin politik daerah seperti wali nagari. Masyarakat Minangkabau yang dikenal memiliki sistem kekerabatan matrilineal menempatkan perempuan pada posisi yang istimewa yaitu sebagai pusat dari sistem kekerabatan dan harta pusaka. Keistimewaan ini seharusnya memberikan kemudahan kepada perempuan Minangkabau di dalam politik. Namun pada kenyataannya tidak banyak perempuan Minangkabau yang berhasil menduduki jabatan sebagai pemimpin politik daerah. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya bupati atau wali kota perempuan di Sumatera Barat dan pada tingkatan administratif paling rendah yaitu nagari hanya 24 perempuan yang berhasil menjadi pemimpin atau wali nagari dari 754 wali nagari di seluruh daerah di Sumatera Barat (Profil Gender dan Anak Sumatera Barat, 2016). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada wali nagari pertama yang terpilih yaitu Wali Nagari Sulit Air. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, sistem pemerintahan nagari yang berubah-ubah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjadi wali nagari. Namun adanya tantangan yang yang harus dihadapi, seperti stereotip gender yang membuat perempuan Minangkabau harus menghadapi tantangan yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Sulit Air memegang teguh adat Minangkabau yaitu falsafah adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah.
This study aims to see the challenges Minangkabau women faced in political participation and become regional political leader namely wali nagari. Minangkabau people have matrilineal community system where the women have special position as a central of kinship system and inheritance. This privilege position should give the easiness to Minangkabau women in politics. In reality, there are not many Minangkabau women who have succeeded as a regional political leaders. There is no regent or female mayor in West Sumatera and on the lowest administrative level, namely nagari, only 24 women become wali nagari from 754 wali nagari in all regions of West Sumatera (Profile of West Sumatera Gender and Children, 2016). The research method in this study is qualitative with case study of first elected women wali nagari, Wali Nagari of Sulit Air. Based on this study, the nagari government systems gives the Minangkabau women an opportunities to become wali nagari. But Minangkabau women must faced the challenges, such as gender stereotypes. This challenge because of Sulit Air people retain on Minangkabau philosophy, adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah.
Kata Kunci : perempuan, Minangkabau, pemimpin, politik, nagari / women, Minangkabau, leader, politic, nagari