Pemaknaan Ruang Terbuka Publik Embung Langensari Kelurahan Klitren Kecamatan Gondokusuman oleh Masyarakat Kota Yogyakarta
SIGIT NUR IMAN W, Dr. Krisdyatmiko, S. Sos, M. Si.; Danang Arif Darmawan, S. Sos, M. Si.
2019 | Tesis | MAGISTER PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAANKetersediaan lahan menjadi kendala bagi pemerintah Kota Yogyakarta dalam menyediakan ruang terbuka publik yang berkualitas. Pada tahun 2014, pemerintah Kota Yogyakarta bekerja sama dengan BBWS membangun RTP Embung Langensari yang tidak hanya memiliki fungsi ekologis, namun juga bermanfaat sebagai Ruang Terbuka Publik Kota Yogyakarta. Embung yang unik secara lokasional ini merupakan taman kota pertama dan satu-satunya yang berbentuk danau kota (embung) di Yogyakarta. Beberapa fasilitas di RTP dimanfaatkan oleh masyarakat tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti pemanfaatan jalur pejalan kaki untuk PKL, pemanfaatan lahan parkir untuk event gantangan, penggunaan panggung kreasi untuk kegiatan olahraga, serta gedung edukasi yang tidak difungsikan hingga saat ini. Kontrol terhadap RTP oleh masyarakat berupa pembatasan waktu kunjungan dan adanya retribusi telah mencederai hakikat RTP sebagai ruang publik yang bersifat demokratis bagi seluruh warga kota. Dari sejumlah permasalahan tersebut, peneliti berusaha mengungkap pemaknaan RTP Embung Langensari oleh masyarakat Kota Yogyakarta yang kemudian menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, digunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis analitik-interpretatik. Peneliti berusaha menggali informasi secara naturalistik dan melakukan interpretasi berdasar hasil temuan lapangan. Informasi didapatkan melalui observasi, in-depth interview, dan studi dokumen pendukung. Informan berjumlah lebih dari 40 dengan dibagi menjadi pengguna langsung dan tidak langsung RTP, masyarakat sebagai pengelola teknis RTP, instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan RTP, dan pemerintah lokal. Uji keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi, yaitu membandingkan data yang didapatkan dengan satu cara dengan cara yang lain. Teori Produksi Ruang Henry Lefebvre digunakan oleh peneliti sebagai framework penelitian. Dengan konsep perceived, lived, dan conceived space, peneliti berusaha menggali pemaknaan RTP Embung Langensari oleh masyarakat Kota Yogyakarta. Hasil studi menunjukkan bahwa RTP Embung Langensari secara umum dimaknai sebagai ruang sosial, ekonomi, budaya, dan politik bagi masyarakat Kota Yogyakarta. Disamping sebagai ruang yang dapat menampung aktivitas bagi kepentingan umum, RTP dimaknai sebagai ruang sekat eksklusivitas bagi komunitas berdasar kesamaan lokasi tempat tinggal maupun pekerjaan. Observasi sementara menunjukkan bahwa perbedaan pemanfaatan RTP Embung Langensari membentuk pola berdasar kelompok usia. Masing-masing kelompok umur memiliki corak yang khas dalam memanfaatkan RTP. Anak-anak yang dianggap incompetent harus melakukan negosiasi agar dapat mengakses RTP sebagai ruang aktivitas fisik bersama teman sebaya. Lansia menganggap RTP sebagai ruang yang aman bagi kegiatan fisik. Sedangkan remaja dan pemuda menganggap RTP bukan ruang yang menarik. Konstruksi peran gender dalam budaya patriarki juga mempengaruhi cara perempuan dan laki-laki dalam memanfaatkan RTP. Durasi pemanfaatan RTP oleh perempuan lebih singkat daripada laki-laki. Perempuan cenderung memanfaatkan RTP untuk hal yang bersifat sosial, sedangkan laki-laki memanfaatkan RTP untuk leisure. Status kepemilikan menjadi permasalahan utama pengelolaan RTP. Pemerintah kelurahan dan DLH Kota Yogyakarta meminimalisir bentuk keterlibatan dalam pengelolaan RTP karena menganggap RTP bukan bagian dari institusi. Masyarakat menganggap kesempatan tersebut sebagai peluang untuk memanfaatkan RTP sebagai sumber penghidupan.
The land availability is an obstacle for Yogyakarta Government in providing quality open public space. In 2014, Yogyakarta Government in collaboration with BBWS built RTP Embung Langensari which not only had an ecological function, but also was useful as the open public space. This locally unique reservoir is the first and only urban park in the form of a city lake (embung) in Yogyakarta. Some facilities in RTP are utilized by the community not in accordance with their designation, such as the use of pedestrian paths for street vendors, the use of parking lots for gantangan events, the use of panggung kreasi for sports activities, and educational buildings that have not been functioned to date. The control of RTP by the community in the form of restrictions on the time of visitation and the entrance retribution has injured the nature of RTP as a democratic public space for all city residents. From these problems, the researcher tried to uncover the meaning of RTP Embung Langensari by the people of Yogyakarta which later became the focus of this study. This research used a qualitative method with an analytic-interpretative phenomenological approach. Researcher tries to explore information naturally and interpret based on field findings. Information obtained through observation, in-depth interviews, and study of supporting documents. Informants numbered more than 40, divided into direct and indirect users of RTP, the community as the technical manager of the RTP, the agency responsible for managing the RTP, and the local government. Data validity test is done by triangulation technique, which compares data obtained in one way with another way. Henry Lefebvre's Space Production Theory is used by researcher as a theoretical framework. With the concept of perceived, lived, and conceived space, researcher tried to explore the meaning of RTP Embung Langensari by the people of Yogyakarta. The results of the study showed that RTP Embung Langensari was generally interpreted as a social, economic, cultural and political space for the people of Yogyakarta. Aside from being a space that can accommodate activities for the public interest, RTP is defined as a space of exclusivity for the community based on the residence location and work similarity. Early observations show that differences in the use of RTP Embung Langensari form patterns based on age groups. Each age group has a unique way in utilizing RTP. Children who are considered as incompetent must negotiate to access RTP as a space for physical activity with peers. The elderly consider RTP as a safe space for physical activities. Whereas teenagers and young people consider RTP as an unattractive space. The construction of gender roles in patriarchal culture also influences the ways of women and men in utilizing RTP. The duration of utilization of women is shorter than that of men. Women tend to use RTP for social things, while men use RTP for leisure. Ownership status is the main problem in managing RTP. The local government and DLH Kota Yogyakarta minimize the form of involvement in the management of the RTP because they consider that the RTP is not part of the institution. The community considers this opportunity as an opportunity to use RTP as a source of livelihood.
Kata Kunci : livabilitas, ruang terbuka publik, ruang publik