Laporkan Masalah

EKSISTENSI KESAKSIAN BERANTAI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

HARTANA, Dr. Supriyadi, S.H., M.Hum.

2019 | Tesis | MAGISTER HUKUM LITIGASI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengertian keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri dalam kesaksian berantai serta bentuk hubungan sedemikian rupa antar keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri dalam kesaksian berantai, untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan kesaksian berantai dalam pembuktian perkara pidana dan untuk mengkaji dan merumuskan prospek pengaturan kesaksian berantai dalam hukum acara pidana di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian normatif untuk memperoleh data sekunder melalui analisis data kepustakaan dan didukung dengan data primer melalui wawancara dengan narasumber, kemudian data tersebut dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif, evaluatif dan perspektif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan : pertama, makna keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri dalam kesaksian berantai adalah keterangan saksi yang menerangkan sesuatu hal yang berbeda-beda dan saling terpisah substansinya dengan keterangan saksi lainnya, dan bentuk hubungan sedemikian rupa antar keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri adalah hubungan asosiatif yang mana antara keterangan saksi yang berdiri sendiri apabila dinilai persesuaiannya satu sama lain akan nampak suatu hubungan kerja sama yang saling menguatkan dalam membentuk suatu alur cerita tentang suatu peristiwa atau keadaan tertentu yang relevan dengan perkara pidana yang dibuktikan dipersidangan. Kedua, kedudukan kesaksian berantai dalam pembuktian perkara pidana secara normatif menurut KUHAP adalah sebagai alat bukti petunjuk dengan persyaratan keterangan saksi dalam kesaksian berantai mempunyai persesuaian dengan surat dan keterangan terdakwa dalam perkara dimaksud. Setelah putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65 / PUU-VIII / 2010, secara normatif kedudukan kesaksian berantai dalam pembuktian perkara pidana adalah menjadi alat bukti keterangan saksi. Ketiga, kesaksian berantai harus terus dipertahankan dalam hukum acara pidana di Indonesia, yang merupakan wujud dari eksistensi penggunaan bukti tidak langsung (circumtantial evidence) dalam pembuktian perkara pidana. Pengaturan kesaksian berantai dalam KUHAP dan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) masih terdapat pertentangan antara norma dalam kesaksian berantai dengan norma-norma dalam pasal lain yang berhubungan dengan kesaksian berantai, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penafsiran sekaligus penerapan kesaksian berantai untuk pembuktian perkara pidana.

This research was aimed to find out and analyze the definition of the testimonies of several stand-alone witnesses in chain testimony and the close connection among the testimonies of several stand-alone witnesses in chain testimony. This paper also found out and analyzed the position of the chain testimony in proving a criminal case. Moreover, it also studied and formulated the prospects of the regulation of the chain testimony in criminal procedures in Indonesia. This research used normative research methods to gain the secondary data through library data analysis that was supported by primary data through interview with the interviewees. Then, the data was analyzed qualitatively with descriptive, evaluative, and perspective methods. Based on the research results and discussion, it could be concluded that: first, the definition of the testimonies of several stand-alone witnesses in the chain testimony was the witnesses testimonies that explained different details and the substances were separated from the other s testimonies of the witnesses, and the close connection among the testimonies of several stand-alone witnesses was associative relationship which among the testimonies of the stand-alone witnesses if the connection of each testimony was examined, a collaboration that supported each other in making a plot of a specific event or situation that was relevant with the criminal case that was examined in the trial would appear. Second, normatively the position of chain testimony in proving criminal case based on KUHAP was as the evidence with the witnesses testimonies as the term in the chain testimony that had conformity with the defendant s letter and statement in the case concerned. After the issuance of Constitutional Court Judgment Number 65 / PUU-VIII / 2010, normatively the position of chain testimony in proving the criminal case was used as testimonial evidence. Third, the chain testimony must be maintained continuously in the criminal procedures in Indonesia, that was a form of the existence of the use of circumtantial evidence in proving criminal case. In the regulation of the chain testimony in KUHAP and the Bill of Criminal Procedures (RUU HAP), there was still contradiction between the norms in the chain testimony and the norms in the other articles that were related to the chain testimony, so that it caused legal uncertainty in interpreting and aplying the chain testimony in proving the criminal case.

Kata Kunci : saksi, alat bukti, keterangan saksi, kesaksian berantai, pembuktian

  1. S2-2019-417859-abstract.pdf  
  2. S2-2019-417859-bibliography.pdf  
  3. S2-2019-417859-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2019-417859-title.pdf