Akhir dari Pemberontakan: Rehabilitasi dan Integrasi Pemberontak Darul Islam Aceh 1959-1960an
MUHAMMAD IVAN HARISH, Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
2019 | Skripsi | S1 SEJARAHPenelitian ini membahas penyelesaian pemberontakan Darul Islam Aceh, khususnya pelaksanaan proses rehabilitasi dan integrasi terhadap bekas pemberontak. Pemberontakan Darul Islam Aceh memiliki keunikan jika dibandingkan dengan pemberontakan Darul Islam lainnya, karena pemberontakan tersebut tidak berakhir dengan kekalahan militer. Pemerintah menggunakan pendekatan politis dalam penyelesaian pemberontakan Darul Islam Aceh. Hal itu dirintis oleh Kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955, yang didasari oleh kebuntuan dalam operasi militer yang dialami oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo. Sejak tahun 1956 Pemerintah menyetujui pemberian otonomi bagi Aceh, melalui pembentukan Provinsi Aceh dan Komando Daerah Militer Aceh. Pendekatan politis yang digunakan oleh Pemerintah Pusat, Gubenur Aceh, dan Panglima Komando Daerah Militer Aceh berimplikasi terhadap munculnya polarisasi di tubuh pemberontak. Polarisasi ini berujung dengan kudeta dan terbentuknya Dewan Revolusi pada tahun 1959. Dewan Revolusi kemudian merepresentasikan pihak Darul Islam Aceh dalam perundingan dengan Pemerintah Pusat, dan secara resmi menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Hal ini menjadi latar belakang dari lahirnya gagasan-gagasan mengenai penampungan bagi bekas pemberontak, yang berlanjut pada proses rehabilitasi dan integrasi. Pelaksanaan rehabilitasi dan integrasi tersebut memiliki arti penting terhadap penyelesaian pemberontakan, khususnya untuk mereduksi kekuatan pihak pemberontak. Selain itu, bekas pemberontak yang telah diintegrasikan sebagai anggota WMD turut berperan aktif dalam operasi militer terhadap bekas rekan seperjuangan mereka yang masih bergerilya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah yang menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer penelitian ini berasal dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Dinas Sejarah Angkatan Darat, serta koleksi dokumen milik Ali Hasjmy. Sedangkan sumber sekunder berasal dari buku, jurnal, artikel, dan surat kabar sezaman.
This study discusses the completion of Darul Islam Aceh rebellion, especially the implementation of the rehabilitation and integration process againsts former rebels. The Darul Islam Aceh rebellion is unique compared to other Darul Islam rebellions, because the rebellion did not end with a military defeat. Instead, the government used a political approach in resolving Darul Islam Aceh rebellion. This was initiated by Burhanuddin Harahap Cabinet in 1955, which was based on a deadlock in the military operations experienced by Ali Sastroamidjojo Cabinet. Since 1956, Government has agreed to grant autonomy to Aceh, through the establishment of Province of Aceh and Aceh Military Regional Command. The political approach used by the Central Government, the Governor of Aceh, and the Commander of Aceh Military Area Command had implicated for the emergence of polarization in the rebel body. This polarization led to a coup and the formation of the Revolutionary Council in 1959. later, the Revolutionary Council represented Darul Islam Aceh in negotiations with the Central Government, and officially declared joining the Republic of Indonesia. This had become the background of the establishment of ideas about shelter for ex-rebels, which continued in the process of rehabilitation and integration. The implementation of the rehabilitation and integration had an important meaning in resolving the rebellion, specifically to reduce the strength of the rebels. In addition, former rebels who have been integrated as WMD members have played an active role in military operations against their former comrade who were still guerrillas. The method used in this study is a historical research method that uses primary and secondary sources. The primary sources of this research came from the National Archives of Republic of Indonesia, the Army History Service, and Ali Hasjmy's collection of documents. While secondary sources come from books, journals, articles, and contemporary newspapers.
Kata Kunci : sejarah konflik, pemberontakan, rehabilitasi dan integrasi