Berlayar Melampaui Batas: Aksi Seludupe oleh Orang-orang Sangir di Perbatasan Indonesia-Filipina
NATASHA DEVANAND DHANWANI, Dr. Laksmi Adriani Savitri, M.A
2019 | Skripsi | S1 ANTROPOLOGI BUDAYAOrang-orang suku Sangir di perbatasan Indonesia sering kali dikaitkan dengan keterlibatannya dengan jaringan terorisme, juga perdagangan-perdagangan senjata yang didapat dari Filipina, begitupun juga diberitakan jalur-jalur laut di perbatasan ini sering digunakan oleh para teroris untuk keluar masuk Indonesia dan Filipina. Setidaknya begitulah yang digambarkan oleh negara dan media dalam memotret perbatasan yang mengerikan itu. Dalam kesehariannya aparatus-aparatus negara datang untuk mengontrol, juga mewajibkan masyarakat untuk menggunakan jalur legal dalam berlintas yang notabene dilihat sebagai jalur yang lebih aman. Sehingga terbilanglah orang-orang suku Sangir yang melalui jalur-jalur yang tidak aman itu sebagai orang-orang ilegal dan melanggar aturan yang ada. Tulisan ini kemudian memfokuskan pembahasannya di kampung Nanedakele, di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Sampai sekarang masyarakat di daerah ini masih menjadi pelintas batas dan pedagang lintas batas secara ilegal ke Glan, Filipina Selatan sebagai sebuah bentuk transgresi atas aturan negara. Masyarakat di daerah ini menyebut diri mereka sebagai seludupe atau penyeludup. Dengan menginternalisasikan apa yang diproyeksikan oleh negara seperti dalam penyebutan seludupe untuk diri mereka sendiri sebenarnya menjadi bukti bahwa orang-orang di kampung ini menyadari aturan perbatasan itu ada. Kemudian hal yang dijadikan pertanyaan mengapa jalur-jalur aman yang disediakan oleh negara tidak serta merta digunakan justru jalur-jalur ilegal lah yang digunakan walaupun mereka paham akan kehadiran aturan itu. Oleh karena itu tulisan ini melihat berbagai alasan masyarakat yang kemudian dibenturkan dengan aturan-aturan yang pernah dibuat baik dalam aturan berlintas maupun perdagangan lintas batas. Reproduksi dan regenerasi dalam kekerabatan dijadikan salah satu alasan mengapa perdagangan ini masih eksis di daerah ini sampai hari ini. Selain itu adanya saudara mereka yang masih bertempat tinggal di bagian Filipina Selatan sisa-sisa pemukiman perbudakan kerajaan Mangindanau dan Sulu dari abad 18 masih ada dan mereka masih berelasi yang menciptakan cultural joint zone, ditambah berbagai justifikasi seperti justifikasi kultural dan ekonomi masih digunakan. Pada akhirnya tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana seludupe sebenarnya merupakan sebuah cara masyarakat Nanedakele mendapatkan pengakuan, kekuasaan dan juga keuntungan secara ekonomi terutama oleh pada elit yang sebelumnya tidak diberikan oleh negara pada mereka
The people of the Sangir tribe on the Indonesian border are often associated with their involvement in terrorist networks, as well as trade in weapons obtained from the Philippines, as well as being reported that sea lanes on this border are often used by terrorists to enter Indonesia and the Philippines. At least that is what the state and the media describes in picturing the "scary" border. In the daily life the state apparatus comes to control, and they also order the community to use the legal route in passing which is seen as a safer route. So for the people of the Sangir tribe who pass through insecure routes are considered illegal and disobedient to the existing rules. This paper focuses its discussion on a village called Nanedakele, in the Sangihe Islands Regency. In this area, the people are still carrying out "illegal" crossing-border and cross-border trade to Glan, the Southern Philippines as a form of transgression on the states rules. People in this area call themselves seludupe or smugglers. By internalizing what is projected by the state as calling seludupe for themselves makes them seen as people who realize that border rules do exist. Then the question is why the safe routes provided by the state are not necessarily used, in fact the "illegal" paths that are used even though they understand the presence of the rules. Therefore, this paper looks at various reasons which are clashed with rules that have been made, in crossing border rules and cross-border trade. Reproduction and regeneration in kinship are one of the reasons why this trade still exists in this area to this day. In addition, their relatives who still live in the southern part of the Philippines, the remnants of the 18th century of the slavery of the Mangindanau and Sulu kingdoms still exist and they are still related that created cultural joint zone plus various justifications such as cultural and economic justification are still used. In the end this paper aims to show of how this act is used for elite's recognition and to gain power, social statuses and also economic beneficial that have never been given by the state for them
Kata Kunci : Cultural joint zone, batas, seludupe, transgresi