Laporkan Masalah

Hubungan Industrial Pasca Kebijakan Peraturan Pemerintah 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan (Studi Komparasi: Kabupaten Bekasi dan Kota Yogyakarta)

ANINDYA DESSI W, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si.

2019 | Tesis | MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak hubungan industrial yang dihasilkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Pisau analisa ekonomi politik digunakan dalam studi ini, karena studi terkait hubungan industrial di Indonesia masih di dominasi oleh perspektif institusionalis. Sementara, secara khusus studi kebijakan PP 78/2015 tentang Pengupahan, didominasi oleh pendekatan yuridis. Pisau analisa institusionalis dan yuridis pada kenyataannya tidak mampu menjelaskan perbedaan kepentingan ekonomis aktor tripatrit dan sengkarut dalam tata kelola hubungan industrial. Penelitian ini menggunakan studi komparasi di Kabupaten Bekasi dan Kota Yogyakarta. Tujuan dari studi komparasi ini untuk mengkomparasikan dua daerah dengan basis yang berbeda namun sama-sama memiliki relevansi terhadap fokus penelitian. Kabupaten Bekasi memiliki Kawasan Industri Cikarang sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara yang artinya di dominasi oleh buruh formal. Pada tahun 2012 di Bekasi terjadi gerakan buruh yang terbesar pasca Orde Baru yang dinamakan �grebek pabrik� mampu menaikkan Upah Minimum (UM) lebih dari 30%. Berbeda dengan Kabupaten Bekasi, Kota Yogyakarta merupakan daerah non-industri sehingga di dominasi oleh buruh informal. Kota Yogyakarta tidak memiliki serikat buruh yang kuat dan gerakan buruh yang masif seperti halnya di Kabupaten Bekasi. Implikasinya, Kota Yogyakarta yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi daerah dengan upah minimum (UM) terendah di Indonesia dan tingkat ketimpangan juga tertinggi secara nasional. Kebijakan penentuan UM telah melalui empat kali perubahan sebelum akhirnya terbit PP 78/2015 tentang Pengupahan. Sejak pertamakali diberlakukan pada tahun 1989, UM ditetapkan melalui mekanisme survey harga kebutuhan pokok yang dilakukan oleh aktor tripatrit kemudian dinegosiasikan dan dipertimbangkan dengan faktor-faktor ekonomi lain. Perubahan-perubahan tersebut bukan tanpa alasan, namun atas desakan-desakan buruh dalam perjuangan menuntut upah layak. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara historis tidak ada penentuan upah secara riil. Upah ditentukan oleh perjuangan kelas, seperti yang terjadi di Kabupaten Bekasi pasca grebek pabrik yang diiringi oleh gerakan-gerakan serupa mampu menaikkan angka UM. Lemahnya gerakan buruh dan kesadaran berserikat di Kota Yogyakarta membuat gerakan buruh tidak mampu mendorong kenaikan upah. Kondisi sebaliknya terjadi di Kabupaten Bekasi. Hal ini menyebabkan ketimpangan atau disparitas upah di Kabupaten Bekasi dan Kota Yogyakarta. Dari sisi ekonomi, kehadiran PP 78/2015 tentang Pengupahan membuat besaran upah terkunci sehingga semakin melanggengkan ketimpangan upah dan ketimpangan sosial di dua daerah tersebut. Secara spesifik kehadiran PP 78/2015 makin menjauhkan Kota Yogyakarta dari angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan untuk pertamakalinya sejak sepuluh tahun terakhir UM di Kabupaten Bekasi tidak mencapai angka KHL. Dari sisi politik kehadiran PP 78/2015 yang menghitung kenaikan UM melalui rumus baku matematis telah menghilangkan ruang negosiasi aktor tripatrit dalam hubungan industrial yang berarti telah menutup ruang demokrasi.

This study aims to analyze the impact of industrial relations wich produced by Government Regulation (Peraturan Pemerintah/ PP) No. 78 of 2015 on Wages. The analysis of political economy is used in this study, because studies related to industrial relations in Indonesia are still dominated by institutionalist perspectives. Meanwhile, specifically the PP 78/2015 policy study on Wages is dominated by a juridical approach. The institutionalist and juridical analysis are in fact unable to explain the differences in the economic interests of tripatrit actors and disputes in industrial relations governance. This study uses comparative studies in Bekasi Regency and Yogyakarta City. The purpose of this comparative study is to compare two regions with different bases but equally have relevance to the focus of the research. Bekasi Regency has Cikarang Industrial Estate as the largest industrial area in Southeast Asia, which means it is dominated by formal workers. In 2012, in Bekasi, the biggest labor movement New Order era, it was called "grebek pabrik" then capable of raising the Minimum Wage (Upah Minimum/UM) by more than 30%. In contrast to Bekasi Regency, Yogyakarta City is a non-industrial area which is dominated by informal workers. The city of Yogyakarta does not have strong trade unions and a massive labor movement as in Bekasi District. The implication is that the city of Yogyakarta, which is located in the Special Province of Yogyakarta (DIY), has the lowest minimum wage (UM) in Indonesia and the highest level of inequality nationally. The policy of determining UM has gone through four changes before finally issuing PP 78/2015 on Wages. Since it was first enacted in 1989, the UM was established through a mechanism for surveying the prices of basic necessities carried out by tripatrit actors and then negotiated and considered with other economic factors. These changes are not without reason, but at the insistence of the workers in the struggle to demand decent wages. The results of this study indicate that historically there was no real wage determination. Wages are determined by class struggle, as happened in Bekasi District after factory crashes accompanied by similar movements capable of increasing UM numbers. The weakness of the labor movement and the awareness of association in the city of Yogyakarta made the labor movement unable to encourage wage increases. The opposite condition occurs in Bekasi Regency. This causes inequality or disparity in wages in Bekasi Regency and Yogyakarta City. From an economic standpoint, the presence of PP 78/2015 on remuneration makes locked wages so that it continues to perpetuate wage inequality and social inequality in the two regions. Specifically, the presence of PP 78/2015 further alienated the city of Yogyakarta from the number of decent living needs (Kebutuhan Hidup Layak/KHL) and for the first time since the last ten years UM in Bekasi Regency did not reach the KHL figure. From the political side, the presence of PP 78/2015 which calculates the increase in UM through a mathematical standard formula has eliminated the space for tripatrit actor negotiation in industrial relations which means that it has closed the space for democracy.

Kata Kunci : Hubungan industrial, Kebijakan Pengupahan, Gerakan Buruh

  1. S2-2019-418937-abstract.pdf  
  2. S2-2019-418937-bibliography.pdf  
  3. S2-2019-418937-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2019-418937-title.pdf