Mewujudkan Inklusi Sosial Dua Arah: Strategi MLKI DIY Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016
AFFAF MUJAHIDAH, Dr. Samsul Maarif, M.A.
2019 | Tesis | MAGISTER AGAMA DAN LINTAS BUDAYAPenerbitan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 telah membawa kehidupan penghayat kepercayaan pada tahap baru tentang rekognisi status dan identitas mereka. Meski demikian, Majelis Ulama Indonesia dan PP Muhammadiyah berhasil menginterupsi proses impelementasi putusan mahkamah konstitusi tersebut. Dua institusi ini menyatakan bahwa putusan mahkamah konstitusi sebagai legitimasi munculnya aliran sesat dan pembentukan agama baru. Sebagai jalan tengah, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri Nomor 471.14/10666/DUKCAPIL yang meregulasi penerbitan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga yang membagi warga negara ke dalam tiga kategori: keluarga beragama, keluarga penghayat, dan keluarga campuran. Adanya pembagian tersebut telah menimbulkan segregasi dalam kelompok penghayat kepercayaan. MLKI sebagai representasi penghayat berhasil melakukan adaptasi dengan kebijakan yang ada melalui inklusi sosial. Inklusi sosial yang dilaksanakan tidak hanya dalam internal MLKI tetapi juga dalam kehidupan bernegara melalui rekognisi, representasi, dan partisipasi. Terlebih lagi, MLKI melaksanakan inklusi sosial dengan melandaskannya pada filosofi Jawa "memayu hayuning bawana", sehingga MLKI tidak kehilangan identitas sebagai penghayat sekaligus sebagai warga negara Indonesia.
The enactment of Constitutional Court Decision Number 97/PUU-XIV/2016 has led indigenous people into new phase of recognition. However, the regulation has perceived refusal from Indonesian Ulama Council and Muhammadiyah. They accused that Constitutional Court Decision Number 97/PUU-XIV/2016 as a legitimation for misguided people formatting a new religion. As the result, Ministry of Internal Affair decreed a Handbill Number 471.14/10666/DUKCAPIL which regulates the identity and family card for indigenous people who has been classified into three categories: religion adherent family, indigenous family, and mixed family. The differentiation provided by the handbill has impacted the life of indigenous people, and occurred segregations within internal indigenous people. However, indigenous people, represented by MLKI, has managed to adapt with the regulation by performing social inclusion within the internal of MLKI and performing it in the nation life through recognition, representation, and participation. MLKI DIY has performed the implementation of social inclusion by adapting with the Javanese philosophy "memayu hayuning bawana" . Therefore, MLKI DIY is able to become accustomed by the dynamic alteration in Indonesia without losing its identity as indigenous people.
Kata Kunci : MLKI DIY, inklusi sosial, rekognisi, representasi, partisipasi