MODEL PREDIKSI KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN DATA IKLIM
Alfin Harjuno Dwiputro, dr. Tri Baskoro Tunggul Satoto, M. SC., Ph. D.; dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph. D.; Prof. DR. dr. Adi Heru Sutomo, M. SC., D. Comm. Nut.
2018 | Skripsi | S1 KEDOKTERANLatar belakang : Demam berdarah Dengue (DBD) masih menjadi salah satu penyakit infeksi dengan prevalensi tinggi di dunia, terutama di benua Asia (termasuk Indonesia) dan Amerika. DBD disebabkan karena infeksi virus Dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti betina. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2015, terdapat 129.650 kasus DBD sepanjang tahun 2015 (Incidence Rate/IR 50,75 per 100.000 penduduk), dengan jumlah kematian mencapai 1.071 jiwa (Case Fatality Rate/CFR 0,83%). Angka kesakitan DBD di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 mencapai 48,55 per 100.000 penduduk (lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, yakni 50,75 per 100.000 penduduk). Tujuan : Mengetahui hubungan antara faktor iklim ( suhu, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, dan ketinggian tempat) terhadap kejadian DBD di Kabupaten Klaten dan membuat model prediksi kejadian DBD berdasarkan faktor iklim tersebut. Metode : Lokasi penelitian di Kabupaten Klaten, 110°30'-110°45' Bujur Timur dan 7°30'-7°45' Lintang Selatan. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling / sampel jenuh. Sampel yang digunakan adalah jumlah penderita DBD di 26 kecamatan di Kabupaten Klaten dalam 3 tahun (2014-2016). Data faktor iklim yang digunakan adalah data dalam kurun waktu 2014-2016. Metode analisis yang digunakan adalah regresi untuk menentukan pengaruhnya terhadap kejadian DBD dan regresi untuk membuat model prediksi. Hasil : Tidak semua faktor iklim memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DBD di semua kecamatan di Kabupaten Klaten. Kecepatan angin memiliki arah hubungan negative dengan kejadian DBD, dapat digunakan untuk memprediksi kejadian DBD di kecamatan Bayat (p = 0,035, r = -0,305), Jatianom (p = 0,023, r = -0,035), Jogonalan (p = 0,002, r = -0,472), dan Wedi (p = 0,002, r = -0,465). Kelembaban spesifik memiliki nilai yang tidak jauh berbeda, tetapi dapat memprediksi kejadian DBD di kecamatan Ceper ( p = 0,027, r = 0,323), Jatianom (p = 0,022, r = 0,336), Jogonalan(p = 0,002, r = 0,458), Karangdowo (p = 0,018, r = 0,350), Pedan (p = 0,01, r = 0,387), Prambanan (p = 0,286, r = 0,046), dan Wedi (p = 0,004, r = 0,4396). Sedangkan variabel curah hujan hanya berpengaruh signifikan pada kejadian DBD di kecamatan Jogonalan (p = 0,03, r = 0,316), Karangnongko (p = 0,031, r = -0,313), dan Prambanan (p = 0,048, r = 0,281). Suhu berpengaruh signifikan terhadap kejadian DBD di kecamatan Juwiring (p = 0,014, r = -0,386), Trucuk (p = 0,035, r = -0,306), dan Wedi (p = 0,004, r = 0,436). Kemampuan masing-masing model prediksi (kejadian sebenarnya dibandingkan dengan hasil prediksi), secara umum kurang baik, karena tidak dapat menentukan jumlah yang mendekati jika dibandingkan dengan data kejadian sebenarnya. Tetapi, hasil prediksi dapat digunakan untuk mengetahui tren kenaikan atau penurunan kasus di bulan-bulan berikutnya.
Background : Dengue Haemorrhagic fever (DHF) is an infectious disease with high prevalence, mostly in Asia (include Indonesia) and America. DHF is caused by Dengue virus infection which is transmitted by female Aedes aegypti mosquito. According to data from Indonesia Ministry of Health (2015), there were 129.650 DHF cases in 2015 (Incidence Rate/IR 50,75/100.000) with 1.071 fatal cases (Case Fatality Rate/CFR 0,83%). DHF morbidity in Central Java Province in 2015 is 48,55/100.000 (lower if compared with national Indonesia average, 50,75/100.000). Objective : To find the relationship between climate factors (wind speed, spesific humidity, rainfall, and temperature) and altitude with DHF cases and make DHF prediction model from climate factor. Methods :The research take place in Klaten regency, 110°30'-110°45' east longitude and 7°30'-7°45' southern latitude. The population in this research is the DHF patient in 26 sub-district within 3 years (2014-2016). The climate factors is the same period with the DHF cases. The sampling method is total sampling. The data analysed with univariate and bivariate analysis correlation and simple regression. Result : Not all climate factor are significant with DHF cases in each sub-districts. The wind speed has negative correlation with DHF cases in Bayat (p = 0,035, r = -0,305), Jatianom (p = 0,023, r = -0,035), Jogonalan (p = 0,002, r = -0,472), and Wedi (p = 0,002, r = -0,465). Specific humidity has correlation with DHF cases in Ceper ( p = 0,027, r = 0,323), Jatianom (p = 0,022, r = 0,336), Jogonalan(p = 0,002, r = 0,458), Karangdowo (p = 0,018, r = 0,350), Pedan (p = 0,01, r = 0,387), Prambanan (p = 0,286, r = 0,046), and Wedi (p = 0,004, r = 0,4396). Rainfalls only has significant correlation with dengue cases in 3 sub-district, Jogonalan (p = 0,03, r = 0,316), Karangnongko (p = 0,031, r = -0,313), and Prambanan (p = 0,048, r = 0,281). Temperature has significant correlation with Juwiring (p = 0,014, r = -0,386), Trucuk (p = 0,035, r = -0,306), and Wedi (p = 0,004, r = 0,436). The prediction models can be made for those 11 sub-district with significant correlation between DHF cases and climate factors. The prediction models has low ability to predict precisely the monthly DHF cases when it is compared with dengue cases from 2014-2016, but still have show good ability to predict the monthly DHF trends.
Kata Kunci : Demam berdarah dengue, iklim, kecepatan angin, kelembaban spesifik, curah hujan, suhu, Klaten