Marginalisasi Orang Bau: Dampak Relokasi Pasca Pembangunan Bandara Di Desa Bontosunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
SLAMET RIADI, Prof. Dr. Irwan Abdullah
2019 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGIKehidupan orang Bau pasca direlokasi, menunjukkan perubahan kualitas hidup yang signifikan. Utamanya menyangkut soal keterbatasan lahan dan ketidakjelasan status kepemilikan tanah yang mereka tempati. Selain perubahan hidup yang signifikan, orang Bau juga mengalami marginalisasi pasca mereka dipindahkan ke tempat yang baru. Berdasar pada realitas tersebut, maka penelitian ini berusaha untuk menjawab dua pertanyaan mendasar, yakni; (1) Bagaimana kondisi dan bentuk marginalisasi orang Bau pasca mereka direlokasi, dan (2) Bagaimana faktor keruangan (kawasan) mempengaruhi terjadinya marginalisasi. Selama melakukan penelitian dua bulan lamanya, terhitung sejak 21 November 2018 sampai 22 Januari 2019, penelitian ini menghasilkan tiga simpulan, yakni; Pertama, proses dan bentuk marginalisasi yang dialami oleh orang Bau, terdiri atas tiga proses marginalisasi, yakni; Secara material, semenjak bermukim di tempat baru, orang-orang Bau mesti hidup dengan kondisi keterbatasan arus listrik, kebanjiran tiap musim penghujan, dan juga akses air yang jauh. Aspek-aspek tersebut juga berhubungan dengan persoalan politik, dimana beberapa dari orang Bau memiliki hubungan politik patronase dengan pejabat-pejabat desa, yang seharusnya dapat menyampaikan aspirasi mereka ke pemerintah desa. Selain aspek material dan politik, marginalisasi orang Bau juga berlansung secara sosial. Dimana muncul streotip-streotip yang merendahkan orang Bau sebagai orang malas yang bertempat tinggal di tempat yang kumuh. Kedua, hidup dengan kondisi yang termarginalkan, menimbulkan perlawanan orang Bau terhadap elit lokal di Desa Bontosunggu, seperti; melakukan aksi boikot pembangunan bandara, bergosip, bermalas-malasan dengan agenda yang direncanakan oleh pemerintah desa, dan mengolok-ngolok elit lokal. Perlawanan-perlawanan orang Bau tersebut dapat dipahami sebagai sebuah respon kultural akibat kehilangan nilai siri dan sumange yang menjadi dasar hidup bagi orang Bugis-Makassar. Ketiga, selain faktor relokasi, marginalisasi orang-orang Bau juga dipengaruhi oleh politik tata ruang bertajuk zonasi pedesaan. Dimana dalam kasus Desa Bontosunggu, arah pembangunan dan tata ruang desa dikondisikan untuk mendukung proyek besar pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) dalam bidang pariwisata. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bagaimana terdapat bias keruangan oleh elit lokal yang hanya memprioritaskan pembangunan di beberapa kawasan tertentu di Bontosunggu.
The existence of orang Bau after being relocated, showing a significant change in their quality of life. Primarily, such as limited land and unclear ownership status of the land which are they lived. Beside of that, orang Bau also got marginalization after they were moved to a new place. Based on this reality, this study seeks to answer two fundamental questions,; (1) How are the conditions and forms of marginalization of orang Bau after they are relocated, and (2) How spatial factors (regions) influence the occurrence of marginalization. After doing research since 21st November 2018 until 22nd January 2019, this research found theree basic conclusions; First, the process and form of orang Bau marginalization, consists of three processes. In material aspects, since settling in a new place, orang Bau must live with conditions of limited electric current, flooded every rainy season, and also access to water resources are so far. These aspects are also related to political issues, where some of the orang Bau have political patronage relations with village officials, who should be able to convey their aspirations to the village government. Apart from the material and political aspects, the marginalization of orang Bau also in social aspect. Where there are some stereotypes appear to orang Bau as lazy people who live in slum places. Secondly, living with marginalized conditions has led Bau people resistances to the local elite in Bontosunggu Village, such as; boycott airport development, gossiping, lazing actions with the agenda which are planned by the village government, and mocking the local elites. This resistance can be understood as a cultural response due to the loss of their siri and sumange values which are the basis of life for the Bugis-Makassar people. Third, besides the relocation factor, marginalization orang Bau is also influenced by politic of space on rural zoning. Where in the case of Bontosunggu Village, the direction of development and village spatial planning was conditioned to support the large project of the Selayar Government Islands Regency to become Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) in tourism sector. In addition, this study also found out how there are spatial bias by local elites who only prioritize development in Bontosunggu on certain areas.
Kata Kunci : Marginalisasi, Orang Bau, Relokasi, dan Politik Ruang