Laporkan Masalah

KEDUDUKKAN DAN PERANAN PERATURAN DAERAH NO. 13 TAHUN 1983 DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA PEMERINTAHAN DESA Dl SUMATERA BARAT

Sjahmunir, AM, Prof Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H

1996 | Disertasi | S3 Ilmu Hukum

Kajian terhadap proses pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah kurang banyak diteliti, padahal paham kerakyatan menurut adat ini telah lama dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, terutama di pedesaan. Paham kerakyatan yang pelaksanaanya berdasarkan musyawarah untuk mufakat ini kemudian dirumuskan dan disusun kedalam Dasar Negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dengan kalimat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Setelah kemerdekaan, khususnya sesudah kembali ke UUD 1945, Pemerintah Indonesia telah berusaha membuat tentang cara pengambilan keputusan ini agar diterima oleh semua orang, dengan menempatkan dalam Ketetapan MPR-RI No. l/MPR/1973 tentang Peraturan Tata Tertib MPR yang berbunyi : "Pengambilan keputusan pada asasnya diusahakan sejauh mungkin dengan· musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila hal ini tidak mungkin maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak". Cara pengambilan keputusan yang didasarkan kepada musyawarah untuk mufakat sebagai watak bangsa Indonesia mementingkan kebersamaan juga dianut dalam masyarakat Nagari (Desa) di Sumatera Barat .Dalam masyarakat Nagari sistem bermusyawarah untuk mengambil keputusan telah merupakan darah daging dan telah memasuki segala bidang kehidupan baik terhadap masalah besar maupun kecil. Dengan demikian struktur kekeluargaan matrilineal Minangkabau memerlukan adanya permusyawaratan tersebut, dan hal ini terlihat dalam sistem Koto Piliang dan sistem Bodi Caniago yang berpuncak pada Kerapatan Adat Nagari. Cara musyawarah adalah melalui perundingan dan bukan berbentuk pertukaran pikiran dengan suara terbanyak, tetapi ia adalah dasar dari kerakyatan menurut hukum adat Minangkabau. Melalui kajian yang mendalam terlihat bahwa telah terjadi perubahan yang mendasar pada masyarakat Minangkabau. Modemisasi dan pembangunan sekarang telah menimbulkan perubahan sosial, nilai-nilai telah bergeser, . proses individualisasi telah terjadi yang diiringi lahimya peraturan perundang-undangan Nasional yang meletakkan kekuasaan pada suarnilayah. Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang mulai berlaku tanggal 1 Desember 1979 secara nasional, membawa akibat beralihnya kedudukan pemerintahan terendah yang langsung di bawah Camat dari Nagari kepada Desa. UU No. 5 Tahun 1979 ini dalam pelaksanaannya menimbulkan kegoncangan sosial di Sumatera Barat karena yang dijadikan Desa adalah Jorong dan bukan Nagari. Hasil-hasil penelitian dan penemuan menunjukkan bahwa : a. Kepala Desa dalam melaksanakan tugas kewajiban dan dalam mengambil keputusan sering tidak melakukan musyawarah untuk mufakat dengan lembagalembaga LMD, LKMD ,dan KAN di desanya. b. Terpusatnya kekuasaan di tangan Kepala Desa telah menimbulkan berkurangnya partisipasi masyarakat terhadap usaha pembangunan. c. Akibat terpusatnya kekuasaan di tangan Kepala Desa menyebabkan proses pengambilan keputusan melalui lembaga-lembaga di Desa menjadi tidak demokratis. Penelitian yang dilakukan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui bentuk pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan Kerapatan Adat Nagari, khususnya sesudah berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 dan Peraturan Daerah No.13 Tahun 1983 di daerah Sumatera Barat. Sejauh mana dapat terwujud mekanisme kerjasama antara Pemerintahan Desa dengan Kerapatan Adat Nagari dan LMD, di samping ingin mengetahui usaha-usaha yang ditempuh oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat dalam mengatasi masalah yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan UU No.5 Tahun 1979 dan Peraturan Daerah No. 13 Tahun 1983. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dititik beratkan kepada pengumpulan data sekunder, namun dilihat dari permasalahan yang dikemukakan, penelitian ini juga tidak mengabaikan unsur empiris. Alat pengumpul data yang digunakan adalah wawancara, di samping juga secara participant observation dengan degree of involvement passive, terutama tentang pelaksanaan proses musyawarah di Desa/Nagari. Oleh karena itu penelitian lapangan yang terkait di bidang hukum berkedudukan sebagai bahan pendukung dalam penelitian normatif ini. Semua data yang terkumpul diedit dan dicocokkan dengan jawaban sesuai dengan masalah yang dikemukakan dan disistematisasi. Data lapangan yang terkumpul diolah dan dianalisis sebagai penunjang data sekunder.

The process of decision making which is based on consultation for consensus ("musyawarah untuk mufakat") has been unadequately carried out. In fact, such a democratic principle refering to any custom in Indonesia has been applied for a long time by all Indonesian people, especially those who live in rural areas. The principle was then formulated and put into the state philosophy of Pancasila and the Preamble on the Constitution of 1945. It says : Democracy is controlled by the Inspirational Wisdom based on Consultation/Representation. After Indonesian Independence, particularly after the return to the Constitution of 1945, the government had made great efforts to create the mechanism of making a decision which could be accepted by all people. The mechanism is considered as an official decision made by People Representative Assembly. (Ketetapan MPR RI No. 1/MPR/1973) dealing with Tata Tertib MPR which states: "essentially, decision making should be based on consultation for consencus as maximal as posible. In case, it is not possible to carry this out, the decision making should be reached through voting." Decision making through consultation for consencus reflects the natural character of Indonesian people in that they put togetherness into priority. This concept is adhered by Minangkabau people and it is put into practice in their social life which is called "society of Nagari". It seems that the structure of Matrilineal Kinship in Minangkabau needs such a kind of consultation as found in Koto Piliang and Bodi Caniago systems. Eventually, the highest level of consultation in these two systems is found in Karapatan Adat Nagari. Consultation for consensus is made through convention but not through exchanging ideas for voting. This kind of consultation reflects the basic principle of Democracy in Ad at Law of Minangkabau. Through in depth of study, we can see that a fundamental change has occured in Minangkabau society. Modernization and current development have caused social changes, shifts of values and norms; individualization has also brought a change which is followed by the creation of National Laws which determines that an important and strategic role is on husband/father. In addition, The Act No. 5/1979 relating to Pemerintah Desa (local Government) which was officially effective on Dec. I I 979 has resulted in the shift on the lowest governmental unit: from Nagari to Desa (village). The enforcement of Act No. 511979 has created a social shock in West Sumatra, because Desa has been mistakenly constructed from Jorong, not from what it should be, that is Nagari. The research and encounters have proved that: a. A Village head in fulfilling the job responsibility and in making decision has frequently ignored the principle of consultation for consensus with the existing related institutions in Desa such as Lembaga Musyawarah Desa (Institution of Desa Consultation), Karapatan Adat Nagari (Nagari Adat Council), and Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (Institution of Desa Community Survival). b. The centralization of the power in the hand of a Desa head has invitably weaken the community participation in develoment efforts. c. The impact of the centralization of the power in the hand of Desa head shows that decision making process through the interrelated institutions in the Desa has run undemocratically. The conducting of this research aims at 3 major points: firstly, to identify the form of decision making which is done by Desa Government and KAN particularly after the enforcement of the Act no. 5/1979 in West Sumatra~ secondly, to know the extent of cooperative mechanism among Desa governments, Kerapatan Adat Nagari, Lembaga Musyawarah Desa, and finally to recognize the efforts which have been made by the local government (Pemda Tingkat I of West Sumatra) in overcoming the problems caused by the enforcement of Act No. 5/1979 and Local regulation (Perda) No. 13/ 1983. This research serves as a normative study focusing on secondary data collecting. However, viewed from the problem exposed, this research has also put an empirical aspect into consideration. There are two techniques of obtaining data : interviewing and filling out the questionare and participant observation with degree of involvement passive approach. The collected data are selected and were fitted in with the responses relating to the problem which has been exposed and systemized. Field data which are collected was then processed and analyzed. They serve to support secondary data.

Kata Kunci : Kedudukan dan peran peraturan daerah, proses pengambilan keputusan, Adat Nagari

  1. S3-HKM-1996-SjahmunirAM-Abstract.pdf  
  2. S3-HKM-1996-SjahmunirAM-Bibliography.pdf  
  3. S3-HKM-1996-SjahmunirAM-Tableofcontent.pdf  
  4. S3-HKM-1996-SjahmunirAM-Title.pdf