Laporkan Masalah

Evaluasi Pelaksanaan Program KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan di Kelurahan Keparakan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta

Laras Aprilianti, Eka Zuni Lusi Astuti, S.Sos., M.A.

2019 | Skripsi | S1 PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

Garis kemiskinan di Indonesia menduduki angka yang tinggi dan menyebar di seluruh provinsi. Kondisi tersebut kemudian mendorong pemerintah menginisiasi Program KUBE (Kelompok Usaha Bersama). KUBE merupakan program pemberdayaan masyarakat miskin melalui bantuan modal usaha. Program yang berada dibawah naungan Kementerian Sosial ini melibatkan partisipasi aktif masyarakat sehingga menerapkan pendekatan kolaborasi top down dan bottom up pada pelaksanaannya. Provinsi DIY turut menjadi perhatian pemerintah karena memiliki garis kemiskinan yang tinggi dibanding dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Program KUBE dilaksanakan oleh pemerintah Yogyakarta dari skala perkotaan hingga skala perdesaan. Salah satunya di Kelurahan Keparakan yang berada dekat dengan pusat perekonomian Kota Yogyakarta. Kelurahan Keparakan memiliki potensi ekonomi yang tinggi pada bidang usaha industri kreatif. Usaha yang dijalankan masyarakatnya beragam seperti kerajinan kulit, batik, tas, kelontong, dan usaha kuliner. Melihat potensi tersebut, pemerintah melalui pendamping kemudian membentuk 6 kelompok dengan jenis usaha anggota yang berbeda-beda. Dalam pelaksanaannya selama 3 tahun, KUBE dihadapkan pada beberapa kendala. Akibatnya, terdapat 4 KUBE berkelanjutan dan 2 KUBE mati. Keempat KUBE dapat bertahan dalam mengelola dana bantuan dibanding dengan dua lainnya. Kondisi ini kemudian mendorong peneliti untuk meneliti mengapa empat KUBE dapat berkelanjutan sedangkan dua KUBE tidak dapat berkelanjutan dan mati. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung keberlanjutan KUBE. Pelaksanaan program KUBE diinterpretasikan menggunakan tahap pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan melalui Logical Framework Analysis menurut DFID berawal dari input, process, output, outcome, dan impact. Sementara itu, hasil pelaksanaan program diinterpretasikan dengan analisis SWOT yang berperan untuk mengetahui faktor internal dan eksternal penyebab keberlanjutan KUBE. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan data audio visual. Informasi penelitian diperoleh dari empat unit analisis yaitu pengurus KUBE, anggota keenam KUBE, pendamping KUBE, dan Penanggung Jawab KUBE dari Dinas Sosial Kota Yogyakarta. Berdasarkan analisis SWOT, faktor internal kelompok berpengaruh besar bagi keberlanjutan KUBE di Kelurahan Keparakan. Empat KUBE berkelanjutan memiliki faktor internal yang kuat. Ini tercermin dari tingginya komitmen anggota dalam menjalankan peraturan kelompok. Sebaliknya, faktor internal pada kedua KUBE mati lemah karena anggota tidak menjalankan kesepakatan kelompok. Disamping itu, peran pendamping KUBE dari Dinas Sosial kurang optimal dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh kedua KUBE mati. Pelatihan yang diberikan juga belum meningkatkan keterampilan anggota karena tidak sesuai dengan jenis usaha yang dimiliki. Kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan dalam Program KUBE menurut LFA DFID cukup baik, hal ini dikarenakan tahap perencanaan dan pelaksanaan telah melibatkan partisipasi anggota KUBE. Namun, monitoring dan evaluasi sebagai tahap akhir KUBE tidak berjalan dengan baik karena tidak ada tindak lanjut dari pemerintah terhadap KUBE yang berkelanjutan ataupun mati. Dapat disimpulkan bahwa pendekatan kolaborasi top down dan bottom up dalam Program KUBE hanya berjalan pada tahap pelaksanaan. Belum menyentuh tahap monitoring dan evaluasi.

Indonesia's poverty rate is classified as high for it spreads across the provinces. The condition encourages the government to initiate KUBE (Kelompok Usaha Bersama) as their program. Under the control of Social Ministry, the implementation of KUBE demands an active participation from the community using top down and bottom up approaches. DIY Province attract the central government's concern for its poverty line is higher than Central Java and East Java. KUBE implementation is carried out by the government from urban to rural scale. Keparakan is a village which nearest located to the center of economic activity in the City of Yogyakarta. It has a great economic potential in creative business industry. People who lived there had a various business such as leather craft, batik, pouch, grocery store, and culinary. With this potential, the government formed 6 groups of different business with a facilitator for each group. Along its 3 years implementation, KUBE had faced some obstacles. It results in 2 discontinued KUBE while the other 4 survived. These 4 surviving KUBE is successful in managing the fund compared to the other two. This is such an interesting thing to investigate. Therefore, this research aims to determine the inhibiting factors and supporting factors for KUBE. The implementation of KUBE was interpreted using the stages of community empowerment for urban areas by DFID's Logical Framework Analysis starting from input, process, output, outcome, and impact. Meanwhile the results of program were interpreted using SWOT analysis to discover the internal and external factors for KUBE sustainability. This research is using descriptive qualitative method and the data is collected using observation, deep interview, documentation, and audio visual. Research information is obtained from 4 analysis units such as the leader of KUBE, members, the facilitator, and the person in charge for KUBE from Social Services of Yogyakarta City. Based on the SWOT analysis interpretation, the internal factors gave the biggest impact for the sustainability of KUBE in Keparakan Village. All these surviving KUBE has strong internal factors. It is reflected by the member's commitment to obey the rules of the group. On the other hand, the discontinued KUBE has weak internal factors for its member ignorance to the rules. Besides, the role from KUBE facilitator wasn't optimal enough to solve the problems faced by two discontinued KUBE. The training given also couldn't improve the skills of members because it doesn't match their business type. The stages of community empowerment for urban area in KUBE program is sufficiently good because the planning and implementation stages had involved the participation of KUBE members. However, monitoring and evaluation as the final stage of KUBE didn't go as well because the government didn't do any follow-up for all those KUBE, both the surviving and discontinued ones. It can be concluded that the top down and bottom up collaboration approaches in the KUBE Program only runs at the implementation stage, not yet reached the monitoring and evaluation stage.

Kata Kunci : KUBE, pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan, analisis SWOT

  1. S1-2019-379846-abstract.pdf  
  2. S1-2019-379846-bibliography.pdf  
  3. S1-2019-379846-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2019-379846-title.pdf