STARTUP BANTU TERNAK DALAM PROSES DISRUPTIVE INNOVATION

DIAN NURCAHYA, Dra. Susi Daryanti, M.Sc.

2018 | Skripsi | S1 PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

Startup adalah model bisnis baru yang akhir-akhir ini menjadi tren di Indonesia. Salah satu contoh startup di Indonesia adalah Bantu Ternak. Bantu Ternak adalah startup peer to peer lending (P2PLending) yang berfokus pada pengembangan peternak rakyat dalam bisnis sapi potong. Selama ini, para peternak telah mengalami banyak masalah dalam proses beternak mereka. Masalah tersebut misalnya adalah kesulitan untuk mendapatkan modal dan kesulitan untuk bersaing dengan sapi impor. Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi latar belakang Bantu Ternak untuk menciptakan disruptive innovation dalam kondisi yang ada pada saat ini. Bantu Ternak ingin mengubah sistem pemasaran sapi yang selama ini didominasi oleh blantik dengan menghapuskan peranan mereka dan menciptakan sistem baru berupa distribusi langsung ke pedagang daging sehingga sapi peternak dapat bersaing dengan sapi impor. Dalam mencapai tujuan ini, Bantu Ternak memiliki seperangkat sistem yang terdiri dari aplikasi, sistem akuisisi peternak, MoU dan sistem pengecekan lapangan. Bantu Ternak memiliki tiga aktor yang terlibat dalam proses kerjasama, investor yang menginvestasikan modal melalui aplikasi, peternak yang bertanggung jawab atas proses penggemukan sapi dan tim inti yang menghubungkan investor dan peternak melalui aplikasi. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus kualitatif. Penelitian ini berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di daerah Sleman dan Bantul. Dalam mengambil informan, peneliti menggunakan metode bertujuan. Peneliti membagi informan menjadi lima kategori, tim inti Bantu Ternak, peternak di Kelompok Ternak Amreh Sehat, peternak di kelompok Ternak Lembu Karya, blantik dan juga investor. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa disruptive innovation yang diinginkan Bantu Ternak belum tercapai. Hal ini dikarenakan sistem dan aktor yang terlibat di dalam proses tidak selalu sejalan satu sama lain. Ada tiga disfungsi dalam sistem Bantu Ternak. Pertama, sistem akuisisi yang tidak hanya berasal dari satu sisi menyebabkan Bantu Ternak tidak memiliki nilai tawar di awal kerjasama. Kedua, sistem MoU yang belum diserap dengan baik oleh peternak menimbulkan munculnya masalah diantara tim inti dan peternak dalam proses kerjasama. Ketiga, keberadaan sistem pengecekan lapangan tidak serta-merta menjadikan target yang ditetapkan melalui standar Average daily gain (ADG) tercapai. Meskipun ada banyak disfungsi, masih ada satu sistem yang ternyata berfungsi di Bantu Ternak, yaitu aplikasi. Aplikasi ini telah berhasil menjalankan perannya sebagai media investasi dan juga penghubung untuk berbagi informasi tentang perkembangan ternak dari tim inti kepada investor. Selain itu, sistem yang ada dan berbagai hubungan di antara para pelaku menimbulkan akibat yang tak diharapkan dalam bentuk perubahan perputaran kas dalam kelompok dan banting setir oleh tim inti dalam kegiatan bisnis mereka dengan perubahan pola kerjasama dengan pengusaha peternakan bukannya peternak rakyat.

Startup is a new business model that recently became a trend in Indonesia. One example of startup in Indonesia is Bantu Ternak. Bantu Ternak is a peer to peer lending (P2Plending) startup that has focus on the development of smallholders in the beef cattle business. All this time, the farmers have experienced many problems in their farming process. The problem for example is the difficulty of obtaining capital and difficulty to compete with imported cattle. That problems become the reason for Bantu Ternak to creating disruptive innovation in the current conditions. Bantu Ternak wants to changes the marketing system of cattle, the process of marketing and creating a new system so that farmers can compete with the imported cattle. In achieving this goal, Bantu Ternak have a set of systems consisting of applications, farm acquisition systems, MoU and field checking systems. Bantu Ternak has three actors involved in the cooperation processes, investors who invest capital through applications, farmers who are responsible for the process cattle farming and the core team who conecting investors and the farmers through applications. This research used qualitative case study method. This research is located in the Daerah Istimewa Yogyakarta, especially in the areas of Sleman and Bantul. In taking informants, the researcher used aiming method. The researcher divided the informants into five categories, Bantu Ternak core team, farmers in the Amreh Sehat Group, farmers in the Lembu Karya Group, blantik and investors. This research found that the disruptive innovation that Bantu Ternak set is not achieved yet. This is because the system and actors that involved in the process are not always in line to each other. There were three dysfunctions in the Bantu Ternak system. First, the acquisition system is not compatible this is caused the lack of bargaining value for the beginning of the collaboration. Secondly, the MoU system has not been properly absorbed by farmers that emerges problems between the core team and farmers in the cooperation process. Third, the existence of a field checking system does not necessarily make the target of the designated Daily Daily Gain (ADG) achieved. Although there are many dysfunctions, there is still one system that turns out to be functional in Bantu , the application. The application has successfully carried out its role as an investment medium and also a liaison to share information of the development of cattle from the core team to investors. In addition, the existing systems and the variety of relationships between the actors made a rise of unexpected consequences in the forms of cash flow patterns in the groups and pivot by the core team in their business activities by collaborating with beef cattle entrepreneur.

Kata Kunci : Startup, disruptive innovation, teori struktural fungsional