Laporkan Masalah

ARENA PERTARUNGAN KULTUR BALI DEAF COMMUNITY. BISINDO SEBAGAI ARAH JUANG TULI MUDA DI DENPASAR

NI K. ARI KESUMA D., Dr. Wisma Nugraha Ch.R.,M.Hum.

2018 | Tesis | MAGISTER KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA

Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas/difabel hadir untuk menggantikan UU No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat karena UU No.4 tahun 1997 tersebut bernuansa diskriminatif. Pemenuhan haknya masih bersifat jaminan sosial, rehabilitas sosial dan peningkatan kesejahteraan sosial. Perbedaannya dengan UU No.8 tahun 2016, yakni difabel mendapatkan kesempatan yang sama dalam upaya mengembangkan dirinya melalui kemandirian. Naskah kuna, khususnya di Bali, menempatkan orang difabel sebagai tokoh jenaka/diolok-olok, muara rasa iba/kasihan dan tidak berdaya. Untuk menunjukkan kemandiriannya, komunitas-komunitas Tuli di Indonesia khususnya Bali Deaf Community menggunakan berbagai strategi dalam upaya meletakkan bahasa isyarat daerah (Bisindo) sebagai senjata mencapai hak Tuli dihadapan sistem negara dan untuk mencapai keberhasilan upaya bersama tersebut, tentunya agen tidak bisa melepaskan diri dari akumulasi-akumulasi kapital yang dimiliki untuk menyebarkan Bisindo baik untuk kemandirian internal maupun eksternal. Untuk mendapatkan hasil analisis terkait strategi dan kapital agen komunitas, peneliti menggunakan teori dari Bourdieu, antara lain Pertukaran Linguistik, Arena dan Kapital. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis secara kritis pola-pola strategi dan peran kapital agen BDC dalam menunjukkan kemandirian dan kebanggaannya terhadap Bisindo. Metode yang digunakan adalah Etnografi yang mulai berlangsung di tahun 2015 dan secara intens berlangsung selama delapan bulan (2017) yang berlokasi di Denpasar dan Yogyakarta. Menurut Bourdieu, dalam proses legitimasi bahasa resmi, sistem pendidikan berperan mendorong pengguna kompetensi linguistik untuk berkolaborasi dalam penghancuran sistem ekspresi mereka, dengan upaya mewajibkan anak-anak menggunakan bahasa tertentu. Kekerasan simbolik dengan penggunaan bahasa isyarat negara (SIBI) sebagai Doxa dalam proses belajar-mengajar di kelas SLB negeri di Bali pada akhirnya menggerakkan alumninya yang tergabung dalam Bali Deaf Community (BDC) untuk melawan dengan serangkaian strategi. Strategistrategi tersebut dimulai dengan cara yang sangat halus, yakni strategi suksesif, strategi edukatif, strategi investasi ekonomi dan strategi investasi simbolis. Kapitalkapital yang dimiliki agen memberikan mereka otoritas mengatur agen yang keluar dari Doxa-nya. Pemegang otoritas tertinggi dimiliki oleh founder dan anggota inti BDC. Otoritas dan hierarkis muncul kerena kapital budaya dan kapital sosial yang dimiliki agen tidak setara dengan agen lain. Kapital ekonomi bukan menjadi satusatunya alat untuk menjalankan strategi subversif dan rantai hierarkis

Law number 8 year 2016 on Persons with disabilities appeared to replace Law number 4 year 1997 on Disabled Persons because it tends to discriminate in certain aspects. The right’s fulfilment only focused on social security, social rehabilitation and the improvement of social welfare. The difference between them lies on the equality given by Law number 8 year 2016 that the persons with disabilities can improve themselves through independency. In ancient manuscripts especially found in Bali the persons with disabilities commonly attributed as mocked persons, estuary of compassion and helpless. To show its independency, Deaf communities in Indonesia especially Bali Deaf Community use various strategies in order to put local sign language (Bisindo) as the weapon to achieve the rights of Deaf before the state system and to achieve the success of the joint the joint struggles, agents can’t escape from the accumulated capital owned by themselves to spread Bisindo either for internal or external independency. To obtain the result of analysis related to strategy and capital of community agents, researcher uses the theories of Bourdieu, those are, Linguistic Exchange, Arena and Capital. The purpose of this research is to critically analyse the strategies pattern and the role of BDC agents in demonstrating their independency and pride toward Bisindo. The method used is Ethnography which began in 2015 and intensively lasted for eight months (2017) located in Denpasar and Yogyakarta. According to Bourdieu, in the process of imposing legitimate language, the educational system determines the decisive role of encouraging linguistic competence users to collaborate in the destruction of their expression systems, by giving obligation to children to use certain language. Symbolic violence by imposing the usage of State Sign Language (SIBI) as Doxa in the teaching and learning process in SLB Negeri classes in Bali eventually drives its alumni incorporated into the Bali Deaf Community (BDC) to fight within a series of strategies. The strategies began in a very subtle way, by those are successive strategy, educative strategy, economic investment strategy and symbolic investment strategy. Capitals owned by agents give them the authority to regulate the agents who differ from their Doxa. The highest authority holders are owned by the founder and core members of BDC. Authority and hierarchy arise because the cultural and social capital owned by particular agents are greater than any other agents. Economic capital is not the only tool to implement subversive strategies and hierarchical chains.

Kata Kunci : Arena Pertarungan Linguistik, Hak Tuli, Masyarakat Dengar, Bali Deaf Community, Strategi Subversif

  1. S2-2018-389643-abstract.pdf  
  2. S2-2018-389643-bibliography.pdf  
  3. S2-2018-389643-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2018-389643-title.pdf