STRATEGI AGEN DAN PRODUKSI KULTURAL FILM INDIE KETIONGHOAAN PASCA ORDE BARU

UMILIA ROKHANI, Dr. Aprinus Salam, M.Hum.;Prof. Dr. Ida Rochani-Adi, SU.

2018 | Disertasi | DOKTOR ILMU-ILMU HUMANIORA

Produksi film ketionghoaan di Indonesia masih dipengaruhi oleh fakta sosial yang berkembang di masyarakat tentang adanya pembatasan ruang gerak dan ruang berekspresi pada masa Orde Baru. Produksi film ketionghoaan pada masa itu dilakukan tujuan propaganda dan kepentingan kekuasaan. Pasca Orde Baru, tema ketionghoaan muncul dalam produksi pada jalur indie. Keberadaan jalur ini memiliki karakteristik bentuk dan materi yang berbeda dengan jalur komersial. Namun, keberadaan keduanya saling berkompetisi dalam menentukan posisi dalam struktur arena produksi perfilman Indonesia. Oleh karena itu, digunakan pendekatan konstruktivisme sosial dengan metode production activity yaitu menempatkan sineas sebagai bagian dari konstruktivisme sosial yang masuk dalam persaingan posisi melalui karya-karyanya. Untuk mengkaji permasalahan tersebut digunakan teori Bourdieu sebagai pijakan dalam menganalisis permasalahan. Dalam hal ini, peta struktur arena perfilman Indonesia dikaji dengan teori arena yang melihat adanya interaksi antarindividu dalam suatu produksi karya sebagai suatu arena atau bidang kekuatan sekaligus sebagai arena pertempuran. Oleh karena itu, habitus sebagai pembentuk karakteristik lingkungan tertentu dalam suatu struktur akan membentuk lintasan trajektori yang akan menentukan strategi dalam mengelola modalitas yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Hal tersebut akan menentukan legitimasi dari suatu produksi karya. Dalam hal ini, agen dengan trajektorinya akan membangun kekuatan sebagai bentuk partisipasinya dalam sistem hubungan tema dan masalah yang muncul dalam representasi karya. Dalam proses produksi karya, kekerasan simbolik menjadi bagian dari penentuan posisi dalam struktur arena suatu produksi karya. Struktur arena perfilman Indonesia masih didominasi oleh film-film komersial yang mendasarkan produksinya pada legitimasi kepopuleran. Berbeda halnya dengan film indie yang mendasarkan pada legitimasi spesifik yaitu kepuasan sineas dalam mengekspresikan gagasan dan pemikirannya melalui produksi film indie yang bebas dan mandiri; dan legitimasi elit yaitu produksi untuk mengikuti festival film dan memenangkannya. Pemosisian karya indie yang memenangkan legitimasi elit untuk masuk ke ranah legitimasi popular dalam proses konsumsinya menjadi bentuk kekerasan simbolik yang dikonstruksi oleh sistem perfilman Indonesia. Sekalipun demikian, tidak setiap relasi yang terbentuk selalu mengarah pada kekerasan simbolik. Perubahan persepsi yang terbangun di masyarakat dapat dilihat sebagai bentuk dukungan produksi kultural antarranah. Habitus agen dalam hal ini para cendekia mengembangkan produksi film indie berdasarkan keilmuannya mengenai produksi film yang berkualitas dan memunculkan karakteristik karya yang padat penanda berupa idiom-idiom simbolik dengan mengelola modal. Modal sosial, kultural, ekonomi, dan simbolik dalam produksi film indie ketionghoaan menjadi pemicu munculnya tiga tema besar yang dikembangkan dari fakta sosial yang terjadi di masyarakat yaitu a. konstruksi identitas ketionghoaan dan praktik diskriminasi; b. konflik sosial masyarakat Tionghoa; dan c. akulturasi budaya masyarakat Tionghoa. Strategi dalam membangun tema tersebut dilakukan dengan cara mengeksplorasi kreativitas melalui produksi simbol-simbol untuk merepresentasi gagasan-gagasan ketionghoaan sekaligus mengkonstruksi aspek artistik melalui simbol-simbol tersebut dan mengeksplorasi kreativitas konsep film indie melalui bentuk karya dalam relasinya dengan materi karya.

The production of movies representing chineseness in Indonesia is still influenced by the social fact inherited from the New Order Era unfolding in the recent society: there is an effort to straiten the Chinese peoples latitude and also to silence their expressions. In the New Order Era, producing motion pictures with this particular theme was not more than the ruling governments propaganda to perpetuate their power. At the post-New Order-era, the theme is still offered by means of indie movie making. Compared to the commercial movies, indie movies display different characteristics in terms of form and content. However, these two diverse modes of film production compete one another to win the position in the national movie arena. For this reason, in this study, the social constructivism is used accompanying the production activity method, i.e. posing the filmmakers as parts of the social constructivism that fight to get position through their movies. Within this study, Bourdieus theory bases the process of problem analysis. The map of arena structure was revealed by arena theory in which the interpersonal interaction existing in a movie production process is considered as an arena of power and a battlefield as well. The habitus as the form agent of particular environment characteristics in a structure shapes the trajectory that will specify the strategies employed in the management of the capital that can be classified into the economy, social, cultural, and symbolic capital. This establishes the legitimation of a production. The agent, using his trajectory, develops power as his participation in the relation system between theme and problems appearing in the work representation. In the progress of work production, symbolic violences are set as a part of position seizing in the arena structure. The arena structure of Indonesian movie is dominated by commercial films produced based on popularity legitimation. Indie movies, on the contrary, are made based on a specific legitimation, namely the makers satisfaction in putting their ideas and thoughts via free and independent production; and an elite legitimation to produce a movie in order to win an award in a certain film festival. The posing of indie movies that win an elite legitimation to enter the popular legitimation in its consumption process becomes a form of symbolic violence constructed by the system running in Indonesian movie. Nevertheless, relations formed during the process do not continually tend to form any symbolic violence. The change of perception within the society, however, can be regarded as a reinforcement towards the interlegitimation cultural production. The habitus agents, the academia, promote the indie movie production based on their knowledge on quality film production and by creating motion pictures rich with symbolic idioms by means of their capacity in managing the provided capital. The social, cultural, economy, and symbolic capitals in the making of Chineseness indie movies trigger three big themes developed from the social facts in the society, namely a) the construction of chineseness identity and the practice of discrimination; b) social conflicts among the Chinese community; and c) the acculturation of Chinese culture. The strategy used is by exploring the creativity in producing the symbols representing the ideas of chineseness and at the same time constructing the artistic aspects through those symbols and exploring the creativity in terms of film concept via the movie form in relation to the film content.

Kata Kunci : Strategi, Produksi Kultural, Film Indie, Ketionghoaan, Pasca Orde Baru