Menegosiasi Ulang Indonesia : Perubahan Politik dan Peran Lembaga-Lembaga Agama di Manado dan Sumenep dalam Era Awal Reformasi
RADEN BAGUS ABDUL GAFFAR, Prof. Dr. Mohtar Mas'oed
2018 | Disertasi | DOKTOR ILMU POLITIKKajian ini melihat ulang era awal reformasi politik Indonesia dari sudut pandang lokal dengan menggunakan kerangka renegosiasi kontrak sosial dan menjadikan dua daerah (Manado dan Sumenep) sebagai kasus-kasus penelitian. Fokus kajian ini adalah peran lembaga-lembaga agama sebagai civil society institutions dalam melakukan regenosiasi kontrak sosial. Penelitian ini berangkat dari kegelisahan tentang produk-produk pengetahuan tentang politik Indonesia kontemporer, yang cenderung menyandang dua masalah. Pertama, problema lokal qua lokal: banyak kajian tentang politik lokal yang memperlakukan daerah sebagai penjelas dirinya sendiri ketimbang sebagai penjelas relasi politik nasional. Kajian-kajian itu cenderung menjelaskan bagaimana politik lokal bekerja dalam mengelola relasi kekuasaan dan sumberdaya di sana, tanpa selalu menonjolkan kemampuan lokal untuk menentukan (tak hanya ditentukan) relasinya dengan pusat. Kedua, kajian-kajian tentang politik Indonesia cenderung didominasi oleh perspektif prosedural yang sangat elektoralistik, dan seringkali terlalu evaluatif ketimbang eksploratif. Banyak pengamat yang meletakkan reformasi sebagai keniscayaan liberalisasi politik. Mereka pada umumnya menjadikan prinsip-prinsip demokrasi liberal sebagai ukuran untuk menakar derajat bekerjanya reformasi politik di negeri ini. Kajian ini mencoba mengatasi persoalan itu dengan melihat perubahan politik di tingkat lokal sebagai bekerjanya mekanisme negosiasi kesepakatan politik yang turut menentukan pola hubungan antar elemen dalam sebuah wadah nationhood Indonesia. Politik lokal di Indonesia pasca reformasi sebenarnya penuh dengan pernyataan dari daerah bahwa: kami tetap bersedia berada di ikatan keindonesiaan, tapi kali ini dengan cara kami, bukan dengan cara Jakarta. Kajian ini mencari tahu apa yang sebenarnya dikehendaki oleh para aktor di dua daerah penelitian. Kajian ini menggunakan pendekatan historical institutionalism untuk melihat kembali era awal reformasi di kedua daerah, serta peran lembaga-lembaga agama (gereja dan pesantren) di sana. Kerangka pikir yang digunakan adalah pandangan kontraktualis sebagaimana ditulis oleh Kissinger (2003) dan Wagner (2008) ketika menjelaskan peran civil society dalam melakukan renegosiasi kontrak sosial. Penelitian ini menemukan bahwa di kedua daerah penelitian, reformasi politik berjalan sebagai proses renegosiasi kontrak sosial antara para aktor politik yang membawa implikasi perubahan komposisi dan relasi aktor di ranah negara maupun ranah masyarakat. Renegosiasi kontrak sosial dalam prakteknya adalah suatu proses kuratif yang oleh para aktor politik lokal dilakukan untuk memperbaiki masalah-masalah yang muncul di masa lalu. Proporsi aspek-aspek kunci dalam renegosiasi kontrak sosial (yakni individu, norma dan otoritas) serta pola peran yang dimainkan oleh lembaga-lembaga agama bisa sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Renegosiasi kontrak sosial bisa berjalan secara diskursif seperti di Manado, atau bersifat disruptif seperti yang terjadi di Sumenep. Kedua daerah menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam manifestasi aspek individu dan norma. Kuatnya renegosiasi dalam aspek norma sangat terlihat di Manado, di mana gereja memainkan peran sentral untuk mempertegas posisi etnik Minahasa yang Protestan sebagai kelompok minoritas dalam relasi keindonesiaan, terlebih ketika dari Jakarta justru muncul gejala sektarianisme politik selama proses amandemen kedua UUD 1945 di tahun 2000. Renegosiasi di lingkup aspek individu sangat kuat di Sumenep. Para politisi pesantren di sana mendorong perombakan besar dalam komposisi kepartaian dan rekrutmen politik dalam semangat degolkarisasi dan demiliterisasi, yang dibarengi dengan penguatan supremasi politik pesantren. Dalam aspek otoritas tak ada perbedaan yang signifikan antara kedua daerah. Manado dan Sumenep cenderung menjadi lokus bekerjanya pembenahan otoritas berlingkup nasional yang dilakukan oleh pusat, tanpa kontribusi mendasar dari aktor-aktor politik lokal. Kedua daerah menunjukkan bahwa reformasi memiliki makna yang jauh lebih luas daripada perubahan dari otoritarianisme menuju demokrasi. Reformasi politik di Indonesia adalah terbukanya peluang negosiasi keindonesian yang justru dimulai dari daerah-daerah.
This study looks at the early stages of Indonesian political reform from local perspectives using the framework of renegotiating social contract, taking two regions (Manado and Sumenep) as case studies. Focus of this study is the role played by religious institutions as part of civil society in renegotiating the social contract. The research was originated from my concern about the products of knowledge on contemporary Indonesian politics, which suffer from at least two problems. First, the problem of local qua local: many studies have been conducted on regions merely to explain local politics per se, rather than to find the answers to the questions on national politics from local perspectives. Those studies tend to seek for explanation of how local politics work to manage power relation and resources at local levels, without giving deep attention to the capacity of local politics to determine (rather than being determined by) their relationship with central power. Second, researches on Indonesian politics tend to be dominated by procedural perspectives that pay great attention to electoral issues, and often more evaluative than explorative. Many observers have taken the political reform as the part of political liberalization. They laid down the principles of liberal democracy to become the measure the development of political reform in the country. They assessed Indonesian democracy accordingly. This study aims to solve these problems by looking at the political changes at local levels as part of the mechanism to renegotiate political agreements that has been part of the pattern for relationship of the elements of Indonesian nation. Indonesian local politics in the post-reform era has shown the capacity of local actors to express a clear sign: we are willing to remain the part of Indonesian national binding, only this time we will do it our way, not only Jakarta�s way. The research tries to comprehend conditions laid down by political actors in the two regions. I use historical institutionalism approach to look back at the earlier stages of Indonesian political reform in the two regions, and the role played by religious institutions. The framework used in this research is the contractualist perspective as pointed out by Kissinger (2003) and Wagner (2008) when explaining the role of civil society in renegotiating the social contract. This research has discovered that political reform in the regions took the form of the process of renegotiation of social contract among the political actors that encouraged the compositional and relational changes of both state and society actors. In practice, renegotiation of social contract is the curative actions taken by the local political actors to fix the problems occurred in the past. Proportions of key aspects in social contract renegotiations (individual, norms and authority) and the patterns of the role played by religious institutions may vary across regions. Social contract renegotiation can be done in a discursive way as in Manado, or take a more disruptive outlook like in Sumenep. Both regions displayed a significant dissimilarity in individual and norm aspects. Renegotiation on the norm field was very robust in Manado, where the church played central role to seek for the strengthen the position of Minahasa ethnic group, a Protestant minority in Indonesia, particularly in a time when there were noticeable symptoms of sectarianism politics from Jakarta during the second constitutional amendment in 2000. Renegotiation in the scope of individual appeared almost instantly in Sumenep, following the demise of New Order government. Pesantren politicians enforce overall party compositional changes, in line with political recruitment that followed the degolkarization and demilitarization spirits. This, in turn, strengthened the pesantren political power. There is no significant variation between the two regions in the scope of authority. Both Manado and Sumenep simply followed the tone set by national political changes, without fundamental contributions from local actors. In this aspect, local politics was just the locus of national political reform. The two regions has showed that reformasi was not merely steps to move away from authoritarianism towards democracy. Indonesian political reform has also opened the door for renegotiation of the meaning of being Indonesia, started from locals.
Kata Kunci : renegosiasi kontrak sosial, reformasi politik, politik lokal, lembaga agam