POLITIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENYIARAN TELEVISI DI INDONESIA PASCA-REFORMASI (TAHUN 2002-2017): DOMINASI DAN INTERVENSI KAPITAL

RAHAYU, Prof. Dr. Yeremias T. Keban, MURP.; Dr. Kuskridho Ambardi, M.A.

2018 | Disertasi | DOKTOR MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Ada dua persoalan yang melatarbelakangi penelitian ini. Pertama, terdapat indikasi bahwa implementasi UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 yang merupakan manifestasi perubahan politik penyiaran di Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kedua, adanya kesenjangan pengetahuan dalam menjelaskan persoalan implementasi kebijakan penyiaran dalam konteks pasca-reformasi di negara berkembang. Berdasarkan pada dua persoalan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan ada/tidaknya penyimpangan yang telah terjadi dalam implementasi kebijakan penyiaran pasca-reformasi (2002-2017) dan menjelaskan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Penelitian menerapkan teori implementasi kebijakan yang mengeksplorasi persoalan implementasi dari tiga elemen utama: substansi kebijakan, praktik atau realisasi kebijakan di lapangan, dan respon publik baik terhadap kebijakan maupun praktiknya. Di samping itu, penelitian juga menggunakan teori implementasi kebijakan top-down dan teori principal-agent sebagai kerangka analisis untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan critical realism. Dalam penggalian data, peneliti melakukan analisis dokumen terhadap peraturan-peraturan penyiaran, wawancara dengan 48 responden terkait, dan observasi lapangan untuk melihat secara langsung penyelenggaraan penyiaran di beberapa daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan penyiaran mengalami penyimpangan cukup serius baik dari sisi substansi, praktik maupun respon publik. Dari sisi substansi kebijakan, sejumlah peraturan yang dibuat oleh pemerintah menyimpang bahkan kontradiksi dengan ketentuan undang-undang. Penyimpangan terjadi pada aturan tentang pembatasan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran, pelaksanaan sistem siaran jaringan, dan perizinan. Dari sisi praktik, sejumlah kasus menunjukkan ketidaksesuaian penyelenggaraan penyiaran dengan regulasi yang ada. Dari sisi respon publik, lembaga penyiaran televisi di daerah dan masyarakat sipil cenderung resisten pada sejumlah peraturan pemerintah yang dinilai bias pada kepentingan lembaga penyiaran televisi swasta tertentu dan mengancam proses demokratisasi dan desentralisasi penyiaran. Protes publik, gugatan hukum, dan bahkan pembatalan puluhan peraturan pemerintah oleh lembaga pengadilan mewarnai implementasi. Faktor utama penyebab persoalan implementasi ini adalah dominasi dan intervensi kapital. Pemerintah tidak kuasa menghadapi intervensi ini karena pemerintah, termasuk elit politik yang berada di dalamnya, memiliki kepentingan ekonomi dan politik terhadap media penyiaran. Akibat dari intervensi ini, pemerintah mengambil tindakan politis dengan mengeluarkan sejumlah peraturan yang cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu. Melalui lima tahapan waktu implementasi kebijakan penyiaran yang peneliti identifikasi, tampak bahwa proses transformasi penyiaran berjalan tidak sesuai harapan para reformis pembela demokrasi. Implementasi ditandai oleh adanya persaingan kepentingan dan konflik yang relatif permanen. Kubu aktor pendukung undang-undang dan kubu aktor yang resisten terhadapnya pun relatif sama pada saat awal undang-undang disusun dan disahkan. Hanya saja untuk kali ini, aktor-aktor lama yang resisten terhadap keberadaan undang-undang berhasil memasukkan kepentingannya dalam proses implementasi. Pergantian pemerintahan nampaknya tidak memengaruhi karakter implementasi kebijakan penyiaran pasca-reformasi. Proses implementasi dicirikan oleh menguatnya posisi pemerintah sebagai regulator utama, pembatasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia, sentralisasi dan dominasi penyeleggaraan penyiaran, dan pembiaran atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Implikasi teoretis penelitian ini adalah implementasi kebijakan dalam konteks pasca-reformasi sarat akan kepentingan ekonomi dan politik. Implementasi tidak saja dipengaruhi oleh kejelasan kebijakan dan kemampuan agen dalam menerjemahkan maksud kebijakan, sebagaimana disebutkan dalam teori implementasi klasik, namun lebih banyak ditentukan oleh kepentingan agen. Agen di sini tidaklah berdiri sendiri, posisinya dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kapital. Diantara mereka terdapat interkoneksi kepentingan yang menyebabkan implementasi kebijakan berjalan dengan nuansa negosiasi dan kompromi. Dalam implementasi kebijakan penyiaran, keberadaan "principal""dan "agen" tidaklah tunggal namun jamak dan berlapis-lapis. Di lingkungan di mana "principal" dan "agen" memperoleh kekuasaan atas dasar kompetisi, seperti pemilihan umum, kepentingan agen lebih merupakan kepentingan golongan/elit politik. Sebagian dari elit politik merupakan pemilik media penyiaran atau orang yang memiliki kedekatan dengan pemilik media. Jalinan relasi yang saling berkelindan ini terbukti mempengaruhi implementasi kebijakan dan patut diperhitungkan dalam memahami memahami implementasi kebijakan.

This research is grounded upon two underlying issues. Firstly, the indication that the implementation of Law 32/2002 on Broadcasting, which is a manifestation of changes in Indonesian broadcasting politics, has not been performing as it should be. Secondly, the prevailing knowledge gap in elaborating issues of broadcasting policy implementation in the post-reform context of developing countries. Based on the two issues above, this research aims to corroborate whether any deviation had or had not occurred in the implementation of post-reform (2002-2017) broadcasting policy and to provide elaborations regarding the relevant causal factors. This study employed the theory of policy implementation which explores matters of implementation based on three key elements: policy substance; policy practice or realization on the field; and public response to both policy and practice. Additionally, this research also utilized the top-down policy implementation theory and the principal-agent theory as frames of analysis to understand factors that influence policy implementation. This is a qualitative research that utilized the critical realism approach. In terms of data collection, document analyses of broadcasting regulations, interviews with 48 relevant respondents, and field observations to directly witness the implementation of broadcasting policies in a number of regions were carried out in this study. Results of this study indicate that the implementation of broadcasting policy had experienced serious deviations in relation to substance, practice, and public response. Concerning the aspect of policy substance, a number of regulations made by the government had deviated and even contradicted with the provisions stated in laws and legislations. Deviations were found in regulations on limitation of ownership and authority over broadcasting institution, implementation of network broadcasting system, and licensing. In terms of practice, a number of cases show discrepancies between broadcasting implementation and existing regulations. Whereas, in terms of public response, television broadcasting institutions in the regions and civil society tended to be more resistant to a number of government regulations deemed as being biased toward the interests of certain private television broadcasting institutions and threatening the decentralization and democratization process of broadcasting. Public protests, lawsuits, and even the annulment of tens of government regulations by the judicial branch had adorned the implementation of broadcasting policies. The main causal factor in the implementation problem lies in the dominance and intervention of capital. The government was incapable of facing such intervention because the government, including its political elites, have economic and political interests in broadcasting media. As a result of this intervention, the government had taken political measures by issuing a number of regulations lenient toward certain individuals/groups. By observing the five stages of broadcasting policy implementation identified in this study, it is obvious that the transformation process of broadcasting did not run as expected by reformist defenders of democracy. The broadcasting policy implementation is indicated by relatively permanent conflict and competition of interests. Actors in favor of the law and actors against the law were relatively equal in strength at the onset when this law was drafted and issued. However, subsequently, old actors who are against this law succeeded in incorporating their interests in the implementation process. The change in government administration seems to have no influence over the basic features of the post-reform broadcasting policy implementation. The implementation process is characterized by the strengthening position of the government as the key regulator, the limitation of Indonesia Broadcasting Commission (Komisi Penyiaran Indonesia or KPI) authority, the centralization and dominance in broadcasting management, and a lax stance on occurring violations. The theoretical implication of this study is that policy implementation in the post-reform context is laden with economic and political interests. Broadcasting policy implementation is not only influenced by policy clarity and the agent's capacity in translating policy intent, as stated in classical implementation theory, but it is much more determined by the agent's interests. The agent here does not stand alone as their position is influenced by capitalist groups. Among them, interconnections of interests that result in policy implementation functioning with a nuance of negotiation and compromise exist. In the implementation of broadcasting policies, the presence of "principal" and "agent" is by no means singular as it is rather plural and layered. Within an environment where "principal" and "agent" gain power on the basis of competition, such as general elections, the interests of the agent is more the interests of the political elites/group. A part of the political elites are owners of broadcasting media or people who are close with media owners. Such interweaving relational bonds have proven to influence policy implementation and it should be a point of consideration in understanding policy implementation.

Kata Kunci : implementasi kebijakan, penyiaran televisi, pasca-reformasi, principal-agent, intervensi kapital, televisi swasta, policy implementation, television broadcasting, post-reform, principal-agent, capital intervention, private television