Laporkan Masalah

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI INDONESIA

VIVI ARIYANTI, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Edward OS. Hiariej, S.H., M.Hum.

2018 | Disertasi | DOKTOR ILMU HUKUM

Disertasi ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan sanksi tindakan terhadap korban penyalahgunaan narkotika saat ini (ius constitutum), mengetahui parameter untuk menentukan korban penyalahgunaan narkotika yang ditetapkan oleh penegak hukum (ius operatum), serta merekomendasikan pokok-pokok pemikiran dalam rangka mereformulasi kebijakan hukum pidana terhadap korban penyalahgunaan narkotika di masa yang akan datang (ius constituendum). Disertasi ini merupakan jenis penelitian hukum normatif empiris dengan objek penelitiannya adalah kebijakan hukum pidana terhadap korban penyalahgunaan narkotika dan penerapannya oleh aparat penegak hukum. Bahan penelitiannya terdiri atas data das sollen yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, serta data das sein yang diperoleh melalui wawancara terhadap responden (aparat penegak hukum, pejabat lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, serta pecandu dan penyalah guna narkotika) dan narasumber (ahli hukum pidana, ahli sosiologi, dan anggota legislatif). Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan juga pendekatan komparatif (comparative approach) dengan negara-negara lain, yaitu Belanda, Portugal, Amerika Serikat, dan Australia. Kesimpulan disertasi ini menunjukkan bahwa konstruksi yang dibangun oleh formulasi dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika diberi sanksi tindakan (rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial), sedangkan penyalah guna narkotika yang bukan pecandu diberi sanksi pidana. Parameter korban penyalahgunaan narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 terlalu sempit dan sulit dibuktikan oleh tersangka/ terdakwa. Aparat penegak hukum menggunakan peraturan lain untuk menentukan parameter korban penyalahgunaan narkotika. Parameter tersebut adalah kondisi tertangkap tangan, ditemukan barang bukti narkotika untuk pemakaian 1 (satu) hari, positif menggunakan narkotika, dan tidak terdapat bukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Dengan parameter tersebut seorang penyalah guna narkotika yang kedapatan "membeli, menerima, menyimpan, menguasai, membawa, dan memiliki" narkotika harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa unsur tersebut adalah benar-benar untuk tujuan digunakan bagi dirinya sendiri. Dalam paradigma viktimologi radikal, penyalah guna narkotika termasuk ke dalam precipitative victim. Berdasarkan hal itu, reformulasi perlu dilakukan terhadap definisi korban penyalahgunaan narkotika dengan konsep depenalisasi, yaitu kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang (ius constituendum) memasukkan penyalah guna narkotika bagi diri sendiri ke dalam korban yang wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.

This dissertation aims to find out current policy (ius constitutum) on the punitive measures against the victims of narcotics abuse, to know the parameters to determine the victims of drug abuse established by law enforcement officers (ius operatum), and to recommend the points of thought in order to reformulate the criminal law policy in the future (ius constituendum) against victims of narcotics abuse. The type of research in this dissertation is the empirical normative legal research with the object of research is the criminal law policy against the victims of drug abuse and its application by law enforcement officers. The research material consists of legal data in the form of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials, as well as field data obtained through interviews with respondents (law enforcement officials, medical rehabilitation and social rehabilitation institutions officials, drug abusers and narcotics addicts) and resource persons (criminal law experts, sociologists, and legislators). The data obtained were analyzed qualitatively using statute approach, conceptual approach, and also comparative approach with other countries, namely the Netherlands, Portugal, USA, and Australia. The conclusion of this dissertation shows that the design constructed by the formulation in the Law No. 35 of 2009 is that addicts and victims of narcotics abuse are given punitive measures (i.e. medical rehabilitation and social rehabilitation), whereas non-addicted narcotics abuse is given a criminal penalty. Parameters of narcotic abuse victims in the Law No. 35 of 2009 are very restricted and they are difficult to prove. Therefore, in addition to using the law, law enforcement officials also use other rules to determine the parameters of victims of drug abuse. These parameters are that the suspect is caught in redhanded, there is narcotics evidence of narcotics for 1 day use, the suspect is positive in using narcotics, and there is no evidence of involvement in illicit drug trafficking. With these parameters, a narcotics abuser found "buying, receiving, storing, holding, carrying, and possessing" narcotics must be proved beforehand that the narcotics is actually for the purpose of being used for himself. According to radical victimology paradigm, narcotics abusers belong to precipitative victims. Based on that, reformulation needs to be made on the definition of drug abuse victims with the concept of depenalization, i.e. future criminal law policy (ius constituendum) includes narcotics abusers into victims who are required to undergo medical and social rehabilitation.

Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Korban, Penyalah Guna, Narkotika

  1. S3-2018-354026-abstract.pdf  
  2. S3-2018-354026-bibliography.pdf  
  3. S3-2018-354026-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2018-354026-title.pdf