Implikasi Yuridis Perluasan Definisi Alat Bukti Keterangan Saksi Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010
ABHIRAMA HAIDAR H, Prof. Dr. Edward Omar Sharief Hiariej, S.H., M.Hum.
2018 | Skripsi | S1 HUKUMPasal 1 angka 26 dan 27 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia, mendefinisikan alat bukti keterangan saksi, sebagai seseorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Apabila ditafsirkan secara a contrario, seseorang yang tidak secara langsung melihat sendiri, mendengar sendiri, dan mengalami sendiri suatu perkara, tidak dapat disejajarkan dengan alat bukti keterangan saksi. Sehingga, definisi tersebut memberikan pembatasan kepada saksi alibi, dan saksi lain yang dianggap perlu untuk mengklarifikasi keterangan saksi lainnya, serta secara umum mengingkari pula keberadaan jenis saksi lain yang dapat digolongkan sebagai saksi yang menguntungkan. Pada tahun 2011, berdasarkan Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi memutuskan memberikan perluasan definsi alat bukti keterangan saksi, menjadi keterangan dari seseorang yang tidak harus ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri. Dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai landasan filosofis perlunya perluasan definisi alat bukti keterangan saksi. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana implikasi yuridis perluasan definisi alat bukti keterangan saksi terhadap tujuan hukum acara pidana, dan juga terhadap aparatur penegak hukum. Penelitian ini dilakukan dengan metode normatif. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa: Pertama, landasan filosofis perlunya perluasan definisi alat bukti keterangan saksi adalah penegakkan hak asasi manusia. Kedua, implikasi yuridis perluasan definisi alat bukti keterangan saksi tetap sejalan dengan tujuan hukum acara pidana, dan memiliki aneka ragam implikasi terhadap aparatur penegak hukum.
Article 1 Number 26 and 27 of The Indonesia Criminal Procedure Code, defines witness as a person who could provide information in the interest of investigation, prosecution and trial on a criminal case which he himself has heard of, seen or experienced. On the contrary, a person who does not directly hear, see, and experience a case himself, cannot be associated with witness. Thus, the definition provides restriction on alibi witnesses and other witnesses which are deemed necessary to clarify other testimony, as well as generally denies the existence of other types of witnesses classified as beneficial witnesses. In 2011, based on Decision No. 65/PUU-VIII/2010, the Constitutional Court decided to extend the definition to be: a person who could provide information in the interest of investigation, prosecution and trial on a criminal case which he does not always hear, see or experience himself. In this legal research, the philosophical basis on the necessity to extend the definition of witness will be discussed. The aims of this research are to identify the extent of juridical implication on the extensional definition of witness towards the objectives of criminal procedure law, as well as towards the law enforcement officials. This research is done by using normative method. As the result, it is discovered that: First, the enforcement of human rights is the philosophical basis of the extensional definition of witness. Second, the juridical implication on the extension of the definition of witness remains in line with the criminal procedure law objectives and have various implications to law enforcement officials.
Kata Kunci : Kata Kunci: Saksi, Perluasan Definisi Saksi, Implikasi Yuridis / Keywords: Witness, Broadening Definition of Witness, Juridical Implication