Lasem Affaire: Kekerasan terhadap Buruh Perempuan dalam Industri Batik Tulis di Lasem 1920an-1930an
RETNO SEKARNINGRUM, Dr. Abdul Wahid, M.Phil.
2018 | Skripsi | S1 SEJARAHPenelitian ini membahas tentang Lasem Affaire, yakni kondisi di mana buruh batik perempuan (pengobeng) mengalami tindak kekerasan fisik dan seksual oleh majikannya (tauke) di dalam industri batik tulis Lasem pada tahun 1920an hingga 1930an. Adapun permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengapa Lasem Affaire bisa terjadi kepada para pengobeng perempuan di sana. Tema tersebut diambil karena penelitian mengenai batik Lasem sendiri selama ini hanya berputar pada pembahasan mengenai aspek artistik (pola) dan kondisi ekonomi para pengusaha Tionghoa saja. Sementara itu, kajian mengenai buruh di dalam industri yang paling besar di Lasem tersebut masih jarang atau bahkan belum pernah dibahas sama sekali. Sumber-sumber yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi laporanlaporan inspeksi P. de Kat Angelino dari Kantoor van Arbeid (Kantor Perburuhan), yakni Rapport van de Commissie tot nader onderzoek der arbeidstoestanden in de batikkerijen te Lasem dan Batikrapporten, koran-koran sezaman serta sumber-sumber pustaka terkait. Dari sumber-sumber tersebut penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa inspeksi Kantor Perburuhan terhadap industri batik merupakan momentum penting bagi kondisi pengobeng di Lasem. Hal ini dikarenakan pemerintah berhasil mengungkap secara menyeluruh tentang sistem dan hubungan kerja yang tidak sehat yang memberatkan pengobeng di sana. Sistem dan hubungan yang tidak sehat tersebut kemudian menjadikan Lasem sebagai wilayah penghasil batik dengan kondisi perburuhan paling buruk di Jawa dan Madura. Pada perkembangannya kemudian, Lasem Affaire tidak hanya menuai perhatian dari koran-koran sezaman, namun juga reaksi dan tanggapan dari Volksraad serta organisasi pergerakan bumiputra yang ada pada saat itu. Mereka pada umumnya cenderung menyalahkan pemerintah kolonial dan tauke atas kondisi buruk tersebut. Meskipun demikian, reaksi dan tanggapan tersebut belum bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap perbaikan kondisi para pengobeng. Sementara itu, beberapa koran berbahasa Tionghoa memandang inspeksi Kantor Perburuhan justru memberikan dampak buruk kepada tauke dan pengobeng sendiri. Hal itu dikarenakan banyak tauke yang kemudian menutup bengkel batiknya, sehingga secara tidak langsung juga mengakibatkan banyak pengobeng kehilangan lapangan pekerjaan. Kondisi tersebut kemudian semakin diperburuk dengan meluasnya dampak malaise tahun 1930an di Lasem.
This study discusses about Lasem Affaire, a condition in which woman batik workers (pengobeng) in Lasem's batik tulis industry experienced physical and sexual abuse by their employer (tauke) in the period of 1920s until 1930s. The problem to be examined in this research is why Lasem Affaire happened to those pengobengs women. This topic is important because previous researches about batik Lasem have been focusing only on the artistic pattern and economic conditions of the batik owners: Chinese entrepreneurs. Meanwhile, labor condition of woman workers in that Lasem's largest industry is still unknown yet even completely unexplored. This study uses P. de Kat Angelino's reports published by Kantoor van Arbeid (the Labor Office), namely Rapport van de Commissie tot nader onderzoek der arbeidstoestanden in de batikkerijen te Lasem and Batikrapporten as main sources, supplemented by colonial newspapers and related literatures. Based on these sources, the research manages to uncover that the Labor Office's inspection on Lasem's batik industry was an important moment for the condition of pengobengs. The inspection succeeded to disclose the unhealthy working system and labor relation that was heavily burdening the pengobengs in Lasem. Both contributed to the image of Lasem as batik producing region with the worst labor conditions in Java and Madura. As a consequence, Lasem Affaire not only attracted colonial press, but also the Volksraad and indigenous organizations to give a reaction and response. They generally blamed the colonial government and tauke as responsible parties for making such a poor condition. There is no evidence found, however, on the impact of those reaction and response in improving the condition of pengobeng. In contrast, several Chinese newspapers viewed the Labor Office's inspection had a negative impact to the fate of tauke as well as pengobeng. Many tauke had to close their batik workshops because of the inspection's negative report, which also caused many pengobeng losing their jobs. Things were becoming worse when the 1930s malaise brought about economic hardship in Lasem.
Kata Kunci : buruh perempuan, pengobeng, tauke, industri batik tulis, inspeksi Kantor Perburuhan.