FUNDAMENTALISME DALAM REFLEKSI KRITIS MISTISISME CINTA JALALUDDIN RUMI

MUHAMMAD HASAN, Drs. Farid, S.Ag., M.Hum.

2018 | Skripsi | S1 ILMU FILSAFAT

Pemaknaan yang berbeda dalam klaim teologis, baik antar agama, ataupun dalam diri suatu agama, menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik antar pemeluknya. Setiap hal yang berseberangan terhadap klaim kebenaran akan menyebabkan gesekan di antaranya, diikuti saling menyalahkan dan menganggap sesat. Hal tersebut ter representasikan pada paham fundamentalisme, yang secara eksklusif memonopoli klaim kebenaran, dan tidak menerima kalim kebenaran dari diluar dirinya. Fundamentalisme melihat keberadaan fenomena perbedaan ini tak lain sebuah ancaman terhadap eksistensi mereka, dan menggunakan platform agama, untuk melegitimasi perilaku menyerang terhadap keyakinan lain yang berbeda. Penelitian ini menggunakan metode historis faktual tentang fundamentalisme. Objek material penelitian adalah fundamentalisme dan objek formal penelitian adalah mistisisme cinta Jalaluddin Rumi. Mistisisme cinta adalah mistisisme yang ditemukan oleh Jalaluddin Rumi, terbentuk dari pengalaman spiritual Jalaluddin Rumi yang kemudian diungkapkan kembali dalam bentuk syair-syair yang luar biasa indah. Mistisisme cinta Jalaluddin Rumi ini hadir untuk melihat fenomena fundamentalisme. Melalui mistisisme cinta Jalaluddin Rumi peneliti hendak memberikan kritik terhadap fundamentalisme, kemudian memberikan pandangan alternatif sebagai landasan bagi fundamentalisme dalam memandang dan menyikapi keberagaman. Penelitian ini menunjukkan kesimpulan utama. Pertama, fundamentalisme yang lekat dengan kekerasan adalah bentuk fundamentalisme rejeksionis. Kekerasan yang terjadi karena fundamentalisme jenis ini membentuk dirinya eksklusif dalam klaim kebenaran dengan menolak opsi berseberangan, kemudian bersintesis melahirkan tindak kekerasan. Kedua, syair yang dihasilkan oleh Jalaluddin Rumi merupakan bentuk dari mistisisme cintanya. Ketiga, mistisisme cinta Jalaluddin Rumi merupakan antitesis dari Fundamentalisme, namun bukan berarti membenci dan memusuhi kaum fundamentalisme menjadi suatu hal yang benar. Akhirnya, keberadaan fundamentalisme harus dilihat sebagai sebuah keragaman yang niscaya dan keragaman tersebut selayaknya menjadi bagian dari keindahan.

Different meanings in theological claims, whether interreligious, or within a religion, become one of the triggers of conflict. Things that opposed the claim of truth of a platform will cause friction among them. Often a heretic predicate is attached to the oposite. It is represented in the idea of fundamentalism, they exclusively monopolize the claim of truth, and do not accept the truth from outside. Fundamentalism sees the existence of this phenomenon of difference as nothing but a threat to their existance. Then by using religious platforms, fundamentalism ligitimize attacking behavior againts beliefs that are regarded as opposed. This research uses factual-historical method. The object of research is fundamentalism and the formal object of research is the love mysticism of Jalaluddin Rumi. Mysticism of love is the mysticism discovered by Jalaluddin Rumi, formed from the spiritual experience of Jalaluddin Rumi which is recast in the form of extraordinarily beautiful verses. Mysticism love Jalaluddin Rumi is present to see the phenomenon of fundamentalism. Through the mysticism of love of Jalaluddin Rumi the researcher wants to criticize fundamentalism, then provide an alternative view as a foundation for fundamentalism in viewing and responding to diversity. This study shows the main conclusions. First, fundamentalism attached to violence is a form of rejekistant fundamentalism. Violence that occurs because of this type of fundamentalism shapes itself exclusively in the claim of truth by rejecting opposite options, then synthesizing violence. Secondly, the poetry produced by Jalaluddin Rumi is a form of mysticism of love. Third, the mysticism of Jalaluddin Rumi's love is the antithesis of Fundamentalism, but it does not mean to hate and oppose the fundamentalists to be true. Finally, the existence of fundamentalism must be seen as a necessary diversity and that diversity should be part of beauty.

Kata Kunci : Fundamentalisme, kekerasan, mistisisme, Rumi