Analisis Realitas Kemiskinan Kultural di Wilayah Perdesaan-Studi Kemiskinan Melalui Pendekatan Partisipatoris di Desa Mertelu, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul
ISTATO HUDAYANA, Nurhadi, S.Sos, M.Si, Ph.D
2018 | Tesis | S2 PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAANPenelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimanakah realitas kemiskinan dalam konteks makna, pandangan, dan pengalaman serta determinan kemiskinan kultural. Kajian ini penting mengingat arus utama ukuran kemiskinan termasuk di Indonesia masih dikonsepsikan secara top down dan ekonosentris melalui pendekatan kebutuhan dasar dan kepemilikan asset. Penelitian ini mendasarkan pada teori kemiskinan kultural yang memandang adanya seperangkat budaya yang menyebabkan masyarakat miskin sulit lepas dari kemiskinan. Selain itu, pendekatan ini dipilih untuk memahami realitas kemiskinan diantara keanekaragaman budaya dan disparitas pembangunan antar wilayah di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan ialah kualitatif induktif (eksploratori) melalui pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data mengadopsi Partisipatori Poverty Assessment dengan unit analisis penelitian ialah sebanyak 49 individu (terdiri 7 rumah tangga miskin dan individu melalui Diskusi Kelompok Terarah ditambah wawancara mendalam) di Desa Mertelu, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis akar masalah. Temuan penting penelitian ialah masyarakat miskin memaknai kesejahteraan (wellbeing) tidak secara tunggal dan bersifat gradual yaitu memiliki fisik yang sehat, hubungan relasional yang harmonis dengan warga masyarakat dan kecukupan uang untuk memenuhi kebutuhan dasar utamanya kebutuhan pangan. Masyarakat mengasosiasikan ukuran kemiskinan kepada konsep gadhah (kaya)/cekap (cukup) dan mboten gadhah (miskin)/kirang (kekurangan). Terdapat dualisme pandangan atas kemiskinan, antara menerima sebagaimana dalam falsafah �nrimo ing pandum� dan menolak atas kondisi kemiskinan tetapi tidak mengetahui jalan keluarnya. Realitas kemiskinan juga berbeda antar wilayah (bersifat lokal). Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin sangat terbatas sehingga lebih mengupayakan kepada sisi fungsionalitas. Sementara, pemenuhan kebutuhan relasional yang sangat baik melalui budaya srawung yang intens dan tatanan yang guyub rukun (gemeinschaft) yang terpelihara, berdasar motif rekreasi, sukarela (altruism) dan gentosan (resiprokal). Akar permasalahan kemiskinan kultural ialah masyarakat miskin tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk berinovasi dalam memanfaatkan sumber daya dan kelembagaan sosial yang mereka miliki dalam rangka lepas dari kemiskinan.
This research aims to reveal how the reality of poverty in the context of the meaning, perception, and experience also determinant of cultural poverty in rural communities. The urgency of this research that the mainstream of poverty measures including in Indonesia is still conceptualized top down and econo-centric through the basic needs approach. This study is based on the theory of cultural poverty which sees the existence of a set of cultures that cause poor people difficult to escape from poverty. In addition, this approach was chosen to understand the reality of poverty among cultural diversity and development disparities between regions in Indonesia. The research method used is qualitative inductive (exploratory) through phenomenology approach. Data collection techniques adopted Participatory Poverty Assessment with research analysis unit were 49 individuals (consisting of 7 poor households and individuals through FGD and depth interview) at Mertelu village, Gedangsari sub-district, Gunungkidul district. Data analysis uses uses descriptive analysis and root problem analysis. The important finding of the study is that the poor meant poverty as multiple and gradual i.e. have healthy physical, a harmonic relation with others in communities and have enough money to meet the basic needs, especially, food. Poor people measure of poverty to the concept of gadhah (rich) / cekap (enough) and mboten gadhah (poor) / kirang (lack). There is a dualistic view of poverty, between they accept as in the philosophy of "nrimo ing pandum" and they reject the conditions of their poverty but they do not know the way out. There are also some differences poverty reality between regions (local poverty). The fulfillment of basic needs of the poor is very limited and more just to survive then then to functionality fulfilment). Meanwhile, they have an excellent relational fulfilment through an intense srawung and guyub rukun (gemeinschaft) maintained well. With recreational, voluntary (altruism), gentosan (reciprocal) motive. The root of the problem of poverty is that the poor does not have a strong motivation to innovate of their resources and social institutions in order to escape from poverty.
Kata Kunci : Kemiskinan Kultural/Cultural Poverty, Kemiskinan PerdesaanRural Poverty, Partisipatoris/Participatory