Laporkan Masalah

MODEL MANAJEMEN TERPADU BAYI MUDA (MTBM) BERBASIS MASYARAKAT MELALUI PENDEKATAN BUDAYA DI ACEH

DEWI MARIANTHI, Prof. dr. Sri Suparyati Soenarto, Sp.A(K)., PhD.,; DR. Fitri Haryanti, S.Kp., M.Kes.; Prof. Dra. RA. Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD.

2018 | Disertasi | S3 Ilmu Kedokteran

Latar belakang: Angka kematian merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menggambarkan status kesehatan sebuah negara. Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi dan kematian bayi umur muda relatif lebih tinggi dari umur yang lebih tua. Penanganan neonatal dengan komplikasi di Indonesia masih rendah dan kesulitan akses pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat, diduga sebagai faktor penyebab, termasuk salah satunya adalah faktor sosial dan budaya. Tujuan: Mengidentifikasi model managemen terpadu bayi muda berbasis masyarakat dengan pendekatan budaya di Aceh. Metode: Penelitian ini terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama adalah penelitian kualitatif dan tahap kedua adalah kuantitatif dengan metode quasi exsperiment dengan rancangan non equivalent control group design. Waktu penelitian tahap pertama dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Desember tahun 2016, subjek yang terlibat berjumlah 14 orang dengan teknik pengumpulan data melalui FGD dan wawancara mendalam. Pada tahap kedua, penelitian kuantitatif dimulai dari Januari sampai Agustus tahun 2017. Sampel penelitian pada kelompok intervensi berjumlah 45 kader kesehatan dan 42 ibu post partum yang berada di wilayah kerja Puskesmas Ulee Kareng Banda Aceh sedangkan sampel pada kelompok kontrol 46 kader kesehatan dan 35 ibu post partum pada KN-1 dan 44 ibu post partum pada KN-3 yang berada di wilayah kerja Puskesmas Baiturrahman Banda Aceh. Hasil: Penelitian kualitatif menghasilkan tiga tema yaitu: budaya madeung pada ibu post partum di Aceh mempunyai hubungan dengan masalah kesehatan kepada ibu, budaya peucicap dan troen tanoh pada bayi di Aceh berisiko menimbulkan masalah yang komplek pada bayi baru lahir dan program managemen terpadu bayi muda berbasis masyarakat dapat dilaksanakan dengan tetap mempertahankan budaya Aceh. Hasil penelitian kuantitatif mendapatkan ada peningkatan kompetensi, yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan (semua p value 0,000) kader kesehatan sebelum dan setelah pelatihan MTBM. Ada perbedaan perubahan kompetensi yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan (semua p value 0,000) antara kader kesehatan kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ada perubahan efikasi diri kader kesehatan setelah pelaksanaan MTBM-M dengan p value 0,000. Ada peningkatan penampilan kinerja klinik kader kesehatan di setiap kunjungan neonatus (KN-1, KN-2 dan KN-3) dengan nilai p value 0,000. Terdapat hubungan yang lemah antara kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) kader kesehatan dengan kunjungan neonatus dan tidak ada hubungan antara jarak waktu setelah pelatihan MTBM dengan kunjungan neonatus. Ada peningkatan pengetahuan tentang MTBM, efikasi diri dalam merawat bayi baru lahir dan kualitas hidup selama masa nifas pada ibu post partum setelah kunjungan neonatus oleh kader kesehatan (semua nilai p value 0,000). Ada perbedaan pengetahuan tentang MTBM (p value 0,011) perbedaan efikasi diri dalam merawat bayi baru lahir (p value 0,003) dan kualitas hidup selama masa nifas (p value 0,004) pada ibu post partum kelompok intervensi dibandingkan dengan ibu post partum di kelompok kontrol. Kesimpulan: Model MTBM dengan pendekatan budaya dapat meningkatkan kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) kader kesehatan. Peningkatan efikasi diri dan penampilan kinerja klinik kader pada saat pelaksanaan MTBM berbasis masyarakat yang memberi dampak terhadap peningkatan pengetahuan tentang MTBM, efikasi diri dalam perawatan bayi baru lahir dan kualitas hidup selama masa nifas pada ibu post partum. Saran: Perlu supervisi dan monitoring yang berkala untuk memastikan model MTBM berbasis masyarakat dengan pendekatan budaya masih dilaksanakan oleh kader kesehatan di masyarakat.

Background: Mortality rate is one of the indicator used to illustrate a countrys health status. Infant mortality rate in Indonesia is still relatively high and a large proportion of it is composed of younger infants. Management of complicated neonates in Indonesia is still inadequate which might by attributed to the difficulty in accessing healthcare services, social factors and cultural factors. Objective: Identification of community-based young infants integrated management model through cultural approach in Aceh. Methods: This study consisted of two steps. The first step was qualitative study and the second was quantitative study through quasi experimental method with non-equivalent control group design. The first step was conducted in October to December 2016, involved 14 subjects through focused-group discussion (FGD) and in-depth interview. The second step was conducted in January-August 2017. The sample size of intervention group was 45 health cadres and 42 post-partum women in the working area of Puskesmas Ulee Kareng Banda Aceh while the sample size of control group was 46 health cadres and 35 post-partum women at KN-1 and 44 post-partum women at KN-3 in the working area of Puskesmas Baiturrahman Banda Aceh Result: The qualitative study produced three themes, namely: madeung culture among post-partum women in Aceh had an impact on mothers health problems, peucicap and troen tanoh cultures on Aceh infants might cause complex problems on neonates, and community-based young infant management program could be performed while maintaining Aceh traditions. The quantitative study found that there was an increase in competence namely knowledge, attitude and skill (all p value 0.000) between health cadres in the intervention group compared to control group. There was an increase in selfefficacy after MTBM-M with p value 0.000. There was an increase in health cadres clinical performance in every neonate visit (KN-1, KN-2 and KN-3) with p value 0.000. There was a weak association between cadres competence (knowledge, attitude and skill) with neonatal visits and there was no association between the time lapse between the end of MTBM training and neonatal visit. There was an increase in knowledge about MTBM, self-efficacy in neonatal care and puerperal quality of life of post-partum women after neonatal visit by health cadres (all had p value 0.000). There was a difference in knowledge on MTBM (p value 0.011) and self-efficacy in neonatal care (p value 0.003) and puerperal quality of life on post-partum women (p value 0.004) in the intervention group compared to the control group. Conclusion: MTBM model with cultural approach could increase competence (knowledge, attitude and skill) of cadres. Increased self-efficacy and clinical performance of cadres during community-based MTBM resulted in the increase of knowledge on MTBM, self-efficacy in neonatal care and puerperal quality of life in post-partum women. Suggestion: Routine supervision and monitoring is needed to ensure that communitybased MTBM with cultural approach is still conducted by health cadres in the community.

Kata Kunci : MTBM-M, budaya, kader kesehatan, kompetensi, efikasi diri, kualitas hidup, ibu post partum, MTBM-M, culture, health cadres, competence, self-efficacy, quality of life, post-partum women


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.