Konservasi Air Tanah Berbasis Tata Guna Lahan Di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman

HENDRATMORO, Dr.Eng. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng.;Retno Widodo Dwi Pramono, ST., M.Sc, Ph.D.

2018 | Tesis | S2 Perencanaan Kota dan Daerah

Kecamatan Depok merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sleman, DIY yang mempunyai perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat. Perubahan tidak hanya terjadi pada luas lahan yang terkonversi akan tetapi juga di dalam kenaikan persentase Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Perbandingan citra satelit tahun 2003 dan 2014, memperlihatkan perubahan penggunaan lahan akibat konversi dari lahan non-bangunan menjadi lahan terbangun. Pada kurun waktu 11 tahun (2003 hingga 2014) terjadi peningkatan lahan terbangun sebesar 11,69% atau seluas 406,21 Ha. Selain itu, terjadi peningkatan KDB pada lahan terbangun seluas 364,74 Ha. Kecamatan Depok termasuk kedalam zona Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta dengan peruntukan permukiman, sehingga konversi lahan menjadi daerah permukiman tidak mungkin dihindari. Kenaikan volume limpasan berbanding lurus dengan peningkatan luas lahan terbangun yaitu naik sebesar 28,91% atau 7,27 milyar liter dalam kurun waktu 2003 - 2014. Melalui metode neraca air, dapat diketahui bahwa hampir tidak ada imbuhan ke dalam aliran air tanah. Hasil simulasi penggunaan lahan dengan beberapa model persentase KDB memperlihatkan bahwa sebaran penggunaan lahan Kecamatan Depok tahun 2003 dapat memberikan imbuhan air tanah dibanding model lainnya. Konservasi air tanah dapat dilakukan dengan menggunakan limpasan sebagai alternatif pengganti pemenuhan kebutuhan air domestik. Sesuai perhitungan, penggunaan 13% dari volume air limpasan dapat memenuhi kebutuhan domestik dan sisanya dapat dialirkan ke sungai dan diresapkan. Konversi lahan tidak bisa dihindari akan tetapi dapat dikendalikan sesuai rencana tata ruang. Salah satu metode yang disarankan adalah Pengalihan Hak Membangun (Transfer of Development Rights atau TDR). TDR dapat memberikan keuntungan bersama kepada pemilik lahan, pihak developer, dan pemerintah.

Depok is one of the districts in Sleman, Yogyakarta which has a land-use change relatively quickly. Landuse change does not just happen to land converted area but also in the increase in the percentage of Basic Building Coefficient (KDB). Comparison of satellite images in 2003 and 2014, showed changes in land use due to the conversion of non-building land into smaller plots. At the 11-year period (2003 to 2014) there was an increase of 11.69% undeveloped land or an area of 406.21 hectares. In addition, there is increased KDB on undeveloped land area of 364.74 hectares. Depok is part of Yogyakarta Urban Agglomeration zone with the designation of settlements, so that conversion of land into residential areas can not be avoided. The increase of runoff is directly proportional to the increase in land area woke ie an increase of 28.91% or 7.27 billion liters in the period 2003 - 2014. Through the water balance method, it is known that almost no recharge to the groundwater flow. The simulation results of land use with some models of the percentage of KDB shows that the distribution of land use Depok in 2003 can provide groundwater recharge than other models. Soil water conservation can be done by using the runoff as an alternative to meet the needs of domestic water. According to the calculation, use 13% of the volume of runoff water to meet domestic needs and the rest can be poured into the river and absorbed. Land conversion can not be avoided but can be controlled according to the spatial plan. One method suggested is Transfer of Development Rights (TDR). TDR can provide mutual benefits to the land owner, developer, and government.

Kata Kunci : penggunaan lahan, koefisien dasar bangunan, limpasan, konservasi