Laporkan Masalah

Hubungan tekanan pasar valas dan kebijakan moneter di Indonesia: suatu analisis dengan menggunakan model victor autoregression

Kurniawan, Rudi, Dr. Bagus Santoso, M.Soc.Sc

2013 | Tesis | S2 Economics

Krisis mata uang di Asia mulai yang bennula pada tahun 1997 telah menimbulkan perdebatan mengenai hakekat hubungan antara kebijakan moneter dan nilai tukar. Menurut pandangan tradisional, kebijakan moneter ketat perlu dilakukan untuk mempertahankan nilai tukar. Pada kenyataannya, kebijakan moneter ketat merupakan kebijakan yang lazim dijalankan di banyak negara Asia pada saat menjelang krisis. Namun demikian, panclangan revisionis menyatakan bahwa kebijakan moneter dapat menimbulkan efek yang berlawanan dengan yang diharapkan (perverse ejjeci) yang justru menyebabkan depresiasi nilai tukar dan penyusutan caclangan internasional yang lebih lanjut.

Studi ini menganalisis hubungan kebijakan moneter daTI tekanan pasar valas di Indonesia selama masa krisis mata uang. Secara spesifik, studi ini bertujuan untuk: (I) menganalisis respons kebijakan moneter terhadap tekanan pasar valas, dan; (2) menganalisis efek kebijakan moneter terhadap tekanan pasar valas.

Mengikuti Girton dan Roper (1997), tekanan pasar valas (EMP) didefinisikan sebagai penjwnlahan depresiasi mata uang dan aliran keluar cadangan internasional (yang diskala dengan uang inti). EMP di asmnsikan sebagai ukuran yang lebih tepat untuk krisis mata uang karena mencerminkan baik pergerakan nilai tukar maupun cadangan internasional. Sementara itu, kebijakan moneter diukur berdasarkan pertumbuhan kredit domestik daTI perubahan selisih nilai tukar.

Untuk keperluan analisis, studi ini menggunakan uji kausalitas Granger dan fungsi impulse-respons yang diperoleh dari estimasi model V AR Temuan-temuan yang adalah sebagai berikut: (1) Otoritas moneter merespons kenaikan tekanan pasar valas dengan melakukan ekspansi kredit domestik-sehubungan dengan bantuan likuiditas kepada sistem perbankan-dan dengan menaikkan suku bunga-sehubungan dengan meningkatnya premium risiko ataupun upaya untuk menahan depresiasi mata uang yang lebih lanjut; (2) Inovasi terhadap pertumbuhan kredit domestik menimbulkan efek yang positif clan signifikan terhadap EMP. Sedangkan inovasi terhadap perubahan selisih suku bunga menimbulkan efek negatif terhadap EMP, namun efek iersebut tidak signifikan. Bahkan, terdapat indikasi bahwa suku bunga tinggi cenderung memperburuk EMP. Berdasarkan temuan-temuan tersebut disimpulkan bahwa: (1) terdapat kontradiksi dalam langkah kebijakan moneter dalam rangka mengatasi kenaikan EMP. Bila dilihat dari sisi suku bunga, kebijakan moneter terkesan ketat, namun bila dilihat dari sisi kredit domestik justru longgar. Kebijakan moneter yang dijalankan tidaklah seketat yang diperkirakan; (2) penalangan likuiditas sistem perbankan dengan ekspansi kredit domestlk membuat EMP semakin memburuk.

Recent Asian currency crises that began in July 1997 has raised an important debate on the nature of the relationship between monetary policy and exchange rate. According to traditional view, tight monetary policy is necessary to defend the exchange rate. indeed, this has been the orthodoxy for many countries in Asia prior to the currency crises. However, revisionist view argues that tight monetary policy unleashes a perverse effect that actually leads to further depreciation of exchange rate as well as depletion in international reserve. This study examines the relationship between exchange market pressure (EMF) and monetary policy during the currency crises in Indonesia. Following Girton dan Roper (1977), the exchange market pressure (EMP) is defined as the sum of exchange rate depreciation and reserve outflows (scaled by base money). It is assumed that EMf> is a more suitable indicator for currency crises since it reflects both movements iIl the international reserve holdings and the exchange rate. Meanwhile, the stance of monetary policy is measured by changes in domestic credit (scaled by base money) and changes in the interest rates differential.

Specifically, this study has two obiectives: (1) to analyze the response of monetary policy to exchange market pressure, and; (2) to analyze the effects of monetary policy on the exchange market pressure.

For the purpose of analysis, this study uses the Granger causality test and impulse-response function based on an estimated V AR model. The findings are as follows: (1) Monetary authority responds to increase of EMF by expanding domestic credit--due to liquidity support for banking system-and by increasing interest rate--due to increasing risk premium or due to an effort to stem futher depreciation of the exchange rate; (2) An inovation to domestic credit growth has a positive and significant effect on EMP. Meanwhile, an inovation to change in interest rate differential has a negative effect on EMP, but the effect is not significant. Indeed, there is an indication that higher interest rate tends to worsen EMf>. Based on the findings, this study concludes that: (I) there is a contradiction in the stance of the monetary policy in dealing with increasing EMP. While it is seemed to be lighted based on the interest rate, but is also seemed to be loosed based on the domestic credit.This implies that the monetary policy may bt: not as "tight" as expected; (2) an attemp to bailing out banking system liquidity by expanding domestic credit makes exchange market pressures even worse.

Kata Kunci : Model victor, autoregression, tekanan pasar, kebijakan moneter indonesia, valas


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.