Laporkan Masalah

Respon penawaran Minyak Sawit Indonesia 1970-1991

Halim, A. Bastan (Adv.:Dr. Dibyo Prabowo, M. Sc.), Dr. Dibyo Prabowo, M. Sc.

2015 | Tesis | S2 Economics

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi respon penawaran produksi minyak sawit Indonesia, elastisitas penawaran terhadap perubahan harga minyak sawit dalam negeri dan harga minyak sawit luar negeri dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, perbedaan respon penawaran perkebunan swasta besar dengan perkebunan BUMN. penelitian ini menggunakan data sekunder yang berbentuk time series. Basil estimasi model respon penawaran minyak sawit untuk perkebunan swasta besar, BUMN dan Indonesia menunjukkan harga minyak sawit dalam negeri dan harga minyak sawit luar negeri bersifat inelastis positif. Harga minyak sawit dalam negeri dan luar negeri beberapa tahun sebelumnya menunjukkan untuk perkebunan swasta besar bersifat inelastis negatif, sedangkan untuk perkebunan BUMN harga minyak sawit dalam negeri dan luar negeri



beberapa tahun sebelumnya tidak berbeda dengan nol. Sedangkan untuk perkebunan Indonesia dengan harga luar negeri tidak berbeda dengan nol, dan harga dalam negeri bersifat inelastis positif. Respon terhadap luas areal menunjukkan bahwa perkebunan swasta besar, BUMN maupun Indonesia dengan menggunakan harga minyak sawit luar negeri dan dalam negeri bersifat inelastis positif. Sedangkan cadangan produksi minyak sawit menunjukkan bahwa perkebunan swasta besar,BUMN dan Indonesia dengan menggunakan harga minyak sawit dalam negeri dan harga minyak sawit luar negeri bersifat inelastis positif. Dengan tanpa melihat inflasi yang terjadi di dalam negeri ternyata perkebunan swasta besar, BUMN dan Indonesia lebih peka mengantisipasi perubahan harga minyak sawit dalam negeri jika dibandingkan dengan harga minyak sawit luar negeri. Dalam jangka panjang perkebunan swasta besar, BUMN



dan Indonesia mempunyai koefisien elastisitas bersifat inelastis positif namun lebih besar jika dibandingkan dalam jangka pendek. Perbedaan antara perkebunan swasta besar dan perkebunan BUMN dalam merespon perubahan penawaran produksi minyak sawit ternyata perkebunan swasta besar lebih peka jika dibandingkan dengan perkebunan BUMN baik dengan menggunakan harga minyak sawit dalam negeri maupun harga minyak sawit luar negeri. Perkebunan BUMN hanya lebih peka dalam mengantisipasi perubahan cadangan produksi. Berkaitan dengan harga substitusi minyak sawit yaitu harga kopra di dalam negeri, maka kopra merupakan barang subititusi dari minyak sawit, karena nilai koefisien elasitisitas silang penawaran bertanda negative untuk semua jenis perkebunan. Namun perkebunan BUMN lebih respon jika dibandingkan dengan perkebunan swasta, dan ini menandakan bahwa aturan alokasi dan penetapan harga minyak sawit memberikan indikasi berlakunya kebijakan Pemerintah sesuai dengan yang diharapkan. Dengan harga kopra luar negeri, menunjukkan bahwa kopra merupakan barang komplemen bagi minyak sawit. Secara keseluruhan perkebunan swasta besar memang lebih cepat tanggap jika dibandingkan perkebunan BUMN hal ini mengingat bahwa orientasi



perkebunan swasta besar bebas memasuksi pasar dalam negeri ataupun pasar luar negeri, sedangkan perkebunan BUMN orientasi utamanya ke dalam negeri dan jika mempunyai sisa diijinkan untuk diekspor. Akibatnya perkebunan swasta besar lebih fleksibel dan luwes memasuki segmen-segmen pasar yang dikehendakinya, sehingga swasta lebih efisien. Dalam jangka pendek dimungkinkan perkebunan swasta besar akan memperoleh keuntungan yang sangat besar mengingat fasilitas yang mereka miliki sangat tergantung dari perkebunan BUMN, akibatnya dalam jangka panjang mereka dengan terpaksa harus mempunyai fasilitas-fasilitas yang lengkap, lain dengan perkebunan BUMN dalam jangka pendek mereka selalu kalah bersaing dengan perkebunan swasta besar hal ini karena banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mendirikan fasilitas-fasilitas seperti pabrik pengolahan, tangki penimbunan dan sebagainya. Sedangkan pendirian fasilitas tersebut sebagian besar dibiayai oleh Negara dan Bank Dunia yang harus dibayar bunganya.

The objective of this study is to estimate factors affecting the supply of the palm oil, domestic and international price elasticity of supply in the short and long run, and the differences of the supply response between the state owned (BUMN) and large private plantation. The study used time-series data. The results shows that domestic and international price of palm oil were positively inelastic. In the past the domestic and international price for the large private plantation were negatively inelastic, and the for state owned plantation were not significant. The international the Indonesia palm oil wasnt significant, and the domestic price for the Indonesia palm oil was positively inelastic. The response of domestic and international price on the area shows that the large private, state owned and both were positive and inelastic. Meanwhile the response of domestic and international price on the palm oil stock shows that the large private, state owned, and both were positive and inelastic. Regardless of the domestic inflation, all type plantation were more responsive in anticipating the chages of domestic palm oil price than that of international palm oil price. In the long run, price elasticity supply for the all types plantation were positive and inelastic, and it was larger than that of the short run. Supply of the large private plantation was more responsive in anticipating the changes of domestic and international price than that of the state owned plantation. Meanwhile, state owned was only more responsive in anticipating the changes of stock. On the other hand, copra has cross elasticity of domestic price on supply negative for all types of plantations. The state onwned plantation was more responsive than the private plantation, it means that the allocation and pricing rules of palm oil followed the goverment policy. Copra has posiposition a complementary goods for the palm oil because cross elasticity for international price. As state owned plantation policy is to supply the only local market, while the large private policy is to supply both the local and foreign market. Consequently, the large private plantation looks more efficient. In the short run, the large private plantation could get a big profit, but it not in the lon run. Meanwhile, the state owned plantation couldn't get a profit in the short run because of a great cost for establishing an infrasucture such as processing, storage, etc. Meanwhile, most of the facilities was financed by the Goverment and World Bank, the interest of which had to be repaid in the future.

Kata Kunci : Harga Minyak Sawit, respon penawaran produksi minyak sawit Indonesia.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.