Pembagian kekuasaan suami istri keluarga Jawa :: Studi jender di Kecamatan Kraton dan Kecamatan Minggir DIY

HANUM, Farida, Promotor Prof.Dr. Sunyoto Usman

2003 | Disertasi | S3 Ilmu Sosiologi

Masyarakat tradisional Jawa dikenal menganut sistem patriarki yang lebih mengutamakan kaum pria. Wanita (istri) Jawa harus patuh dan tunduk pada suami, istri merupakan subordinasi suami. Namun, seiring dengan dinamika masyarakat Jawa terjadi perubahan sosial di berbagai bidang, nilai- nilai tradisional Jawa mengalami pergeseran ke arah nilai- nilai modern. Hal ini berpengaruh pula pada relasi kekuasaan suami istri di keluarga Jawa. Penelitian ini ingin mengungkap mengenai posisi wanita Jawa priyayi dan wong cilik dalam relasi kekuasaan suami istri saat ini. Apakah mereka tersubordinasi dalam pola pembagian kekuasaan, mengapa terjadi demikian dan faktor apakah yang dominan ikut berperan melegitimasi kond isi tersebut. Berdasarkan kelas sosial, secara kultural masyarakat Jawa terbagi dalam golongan priyayi dan wong cilik. Adapun konsep keluarga priyayi dalam penelitian ini diambil dari hasil survai (jajag pendapat) di wilayah penelitian, sebab konsep priyayi yang diperoleh dari literatur dianggap kurang representatif. Hasil yang diperoleh sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa priyayi adalah mereka yang berdarah biru, yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan disimbolkan dengan gelar keturunan yang dimiliki keluarga, sedang keluarga wong cilik adalah keluarga yang bukan termasuk keluarga priyayi. Lokasi penelitian ini mengambil dua kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Kecamatan Kraton mewakili daerah perkotaan dan Kecamatan Minggir mewakili daerah pedesaan. Diambilnya dua kecamatan tersebut sebab sampai saat ini di sana masih terdapat keluarga-keluarga priyayi berdarah biru. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan memakai teknik observasi, wawancara, dan diskusi kelompok terbatas (small group discussion). Ada 12 keluarga priyayi kota dan 12 keluarga priyayi desa yang menjadi informan mewakili golongan priyayi. Demikian pula ada 12 keluarga kota dan 12 keluarga desa yang mewakili golongan wong cilik. Dalam penelitian ini pembagian kekuasaan suami istri dilihat dari proses pengambilan keputusan keluarga, siapa yang paling dominan menentukan. Dari hasil perolehan data lapangan, area keputusan keluarga dibagi menjadi enam, yaitu: a) Pengelolaan keuangan keluarga, b) Pembelian barang berharga, c) Aktivitas istri di luar rumah, d) Kegiatan sosial keluarga, e) Reproduksi/KB, dan f) Berkaitan dengan anak. Dalam proses pengambilan keputusan di sejumlah area tersebut, terdapat lima pola yang dipakai oleh keluarga informan, yaitu: 1) pola bersama seimbang, 2) pola bersama dominan suami, 3) pola bersama dominan istri, 4) pola suami sendiri, dan 5) pola istri sendiri. Dari kelima pola tersebut sebagian besar keluarga informan memakai pola bersama dominan suami untuk hal- hal tertentu (seperti pengelolaan uang untuk pengeluaran di luar belanja rutin, pembelian barang berharga, pemilihan sekolah anak, aturan/sanksi anak dalam keluarga, pemberian bantuan keluarga untuk badan amal). Sedang untuk area (wilayah) keputusan selebihnya memakai pola bersama dominan istri (seperti pengelolaan uang untuk belanja rutin keluarga, aktivitas istri di luar rumah, bantuan pada sanak keluarga, reproduksi/KB dan tugas-tugas rumah tangga bagi anak). Walaupun terdapat dominasi suami atau istri di wilayah-wilayah tertentu, secara menyeluruh dapat dikatakan bahwa terdapat distribusi (pembagian) kekuasaan yang relatif seimbang antara suami istri di dalam keluarga, karena baik istri maupun suami secara bersama-sama ikut memutuskan dan masing-masing memiliki wilayah dominasi. Pola yang dipakai di keluarga priyayi dan wong cilik baik yang tinggal di kota maupun di desa relatif sama. Hal ini disebabkan oleh nilai- nilai yang dipakai dalam keluarga khususnya yang berkaitan dengan relasi kekuasaan suami istri, relatif sama. Nilai-nilai yang dipakai keluarga lebih cenderung pada nilai- nilai baru (modern) yang egaliter, yang memandang harkat dan martabat pria wanita sederajat (setara), sehingga memberi hak dan kesempatan yang sama pada suami dan istri untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dibuktikan dengan adanya musyawarah, dialog bahkan adu argumentasi antara suami istri pada proses pengambilan keputusan, yang pada nilai-nilai tradisional Jawa dianggap sebagai hal tabu (terlarang). Nilai- nilai modern tersebut telah ada di sebagian besar keluarga informan priyayi dan wong cilik serta dipakai dalam keluarga mereka khususnya dalam proses pembagian kekuasaan. Itulah sebabnya perbedaan sumber daya istri relatif kurang berarti membedakan pola yang dipakai oleh keluarga mereka. Temuan penelitian ini berbeda dengan temuan-temuan peneliti terdahulu yang menyangkal bahwa wanita (istri) di keluarga Jawa mempunyai kekuasaan (penelitian Locker dan Nielof, 1992; Berninghousen dan Kerstan, 1992 yang dilakukan di daerah pedesaan Jawa). Mereka mengatakan bahwa wanita Jawa tidak memiliki kekuasaan bahkan tidak memiliki kontrol terhadap diri dan kegiatannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar informan istri priyayi dan wong cilik memiliki kekuasaan bahkan dominan dalam menentukan aktivitas mereka di luar rumah. Demikian pula hasil penelitian ini berbeda dengan temuan beberapa peneliti sebelumnya (Maynard, 1985; Buur, dkk, 1977; Molo, 1993) yang mengungkapkan sumber daya wanita besar peranannya dalam pengambilan keputusan, bahwa istri yang bekerja dan berpenghasilan cenderung mempunyai peluang yang lebih besar dalam pengambilan keputusan di keluarga-nya dibandingkan dengan istri yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa perbedaan sumber daya istri relatif kurang membedakan peluang mereka dalam ikut membuat keputusan di keluarganya. Selanjutnya penelitian ini mengungkap lebih jauh dari apa yang ditemukan pada penelitian Kusujiarti (1995) yang menyatakan bahwa wanita Jawa hanya mampu berpendapat dan berargumentasi tentang ketidaksetujuannya pada suami bila di belakang suami (transkrip tersembunyi) dan bila di depan suami (transkrip formal) mereka cenderung patuh. Penelitian ini menemukan para istri telah mampu berpendapat dan beradu argumentasi dengan suami untuk meyakinkan kebenaran pendapat mereka dan ikut berperan dalam pengambilan keputusan. Proses ini tidak hanya dilakukan di belakang suami tetapi juga di depan suami.

Javanese traditional society is known as a patriarchal society which gives more priority to man. A Javanese woman (wife) must be obedient and loyal to her husband – wife is husband’s subordination. But, together with the dynamics of Javanese society, social shifts occur in many fields and Javanese traditional values experience the moving trend towards the modern values. It also influences the relation of husband-wife authority in Javanese family. This study wants to reveal about the Javanese woman’s position of priyayi and wong cilik families in the relation of husband-wife authority at present: whether they are subordinated in the authority division pattern; why such thing occurs, and what factors are dominant in supporting the legitimization of this condition. Culturally, Javanese society is divided into priyayi and wong cilik. The concept of priyayi family in this study is taken from the survey result (opinion investigation) in the study area, because the priyayi concept taken from the available literature is considered less representative. The concept obtained from most of the participants says that the priyayi are the people who are “blue-blooded”, so to say that they still have the blood/family relation with the Palace of Ngayogyakarta Hadiningrat, and is symbolized by the decent title owned by the family, while wong cilik is the type of family which is not included in the priyayi. The study took place in two districts of Special Te rritory of Yogyakarta, namely Kraton District, which represents the urban area, and Minggir District, which represents the rural area. Those two districts were chosen because until now there are still quite many priyayi families live there. This study is a qualitative study in that it uses the techniques of observation: in-depth interview and limited group discussion. The subjects of this study are twelve priyayi families from the urban area and twelve priyayi families from the rural area taken as the informants representing the priyayi group, together with twelve wong cilik families from the urban area and twelve wong cilik families from the rural area taken as the informants representing the wong cilik group. In this study, the authority division of husband and wife is viewed from the process of making family decisions, i.e. who are more dominant in making the decision. From the data collected, the area of family decision is divided into six types, they are those concerning with: a) family financial management, b) buying valuable properties, c) the outdoor activities of wife, d) social activities of the family, e) reproduction (family planning), and f) children. In the process of decision making in those areas, there are five types of patterns used by the informant families, namely: 1) balanced-collective pattern, 2) husband-dominant collective pattern, 3) wife-dominant collective pattern, 4) husband-alone pattern, and 5) wife-alone pattern. From the five patterns, most informant families use the third type, husband-dominant collective pattern, for certain things (for example in money management in non-routine expenditure, buying valuable properties, choosing the school for children, children regulation in the family, and giving financial contribution for social charity). While in other areas they use the wife-dominant collective pattern (for example in money management for routine expenditure, wife’s outdoor activities, giving financial help for relatives, reproduction/family planning, and determining household tasks for the children). Although there is husband or wife domination in certain areas, it can be said that, in general, the authority division is relatively balanced between husband and wife in the family, because both husband and wife are taking part in making the decision and each of them has their own dominant areas. The pattern used in both the priyayi and wong cilik families either those who live in urban areas or in rural areas are relatively the same. This is caused by the values used by each family, especially those concerning with the relation of husband-wife authority, are also relatively the same. They tend to use the modern values which is egalitary, which consider the level and status of man and woman equal, and therefore give equal right and opportunity to the husband and wife to participate in the process of decision making. It is proved by the existence of discussion, dialogue, and even argumentation between husband and wife in the process of decision making, which is considered taboo/prohibited in traditional Javanese values. The modern values have been existing in most of the informant families of both priyayi and wong cilik and are also used in practice in their families, especially in the process of authority division. That is why the difference of wife resource (whether she works and has earnings or not) is relatively less influential in determining the pattern used by the family. This study finding is different from those of former researchers which deny the authority of woman (wife) in Javanese family (the study by Locker and Nielof, 1992; Berninghousen and Kersten, 1992). They state that a Javanese woman does not have any authority, and even lack control of herself and her activities. The result of this study shows that most wives of the informant families, both from the priyayi and wong cilik, have a part of the authority, and some are even dominant in determining their outdoor activities. The study result is also different from many former researchers (Maynard, 1985; Buur et.al., 1977, Molo, 1993) which state that the woman resource has a big role in family’s decision making; the wife who works and has earnings tends to have more opportunity in making decision in her family than the wife who does not work and has no earnings. This study finds that the difference of wife resource is relatively less influential in determining their opportunity in making decision in her family. Also, this study reveals further from what was found in Kusujiarti’s research (1995) which states that a Javanese woman can only give opinion and argue about her disagreement to her husband in the absence of the husband, while in front of him the wife tends to be obedient. This research finds that a Javanese wife has already been able to make up her mind and argue with her husband to participate in making the decision and to ensure the truth of their collective decision. This process of decision making is performed not only in the absence of their husband, but also in front of him.

Kata Kunci : Sosiologi,Jender,Kekuasaan Suami dan Istri,Keluarga Jawa