Laporkan Masalah

Eksplanasi proses pengambilan keputusan dalam konflik bersenjata di Aceh

KOTO, Sebastian, Promotor Prof.Dr. Ichlasul Amal

2002 | Disertasi | S3 Ilmu Administrasi Negara

Keputusan pemerintah untuk melaksanakan operasi militer di Aceh, yang kemudian dikenal dengan istilah DOM( Daerah Operasi Militer), merupakan suatu kebijakan publik dalam ran& keamanan nasiod Persoalannya adalah, apakah keputusan DOM tersebut tepat dan dibutuhkan. Dari segi model aktor rasional, keputusan DOM tersebut diharapkan menunjukkan hubungan kausalitas antara tujuan pemerintah dengan penggunaan sarana. Inti permasalahan pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) adalah adanya perilaku tidak adil pemerintah dan pengabaian harkat dan martabat rakyat Aceh, sehingga gejolak yang timbul lebih merupakan ekspresi dari ketidakpuasaan masyarakat. Sebaliknya dari persepsi pemerintah, masalah keamananlah yang menjadi inti permasalahan, karenanya solusi yang paling tepat adalah pendekatan keamanan DOM. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak 1989 sampai dengan 1999, dengan korban rakyat yang sedemikian besar, merupakan gambaran nyata dari suatu kebijakan yang tidak berorientasi pada kepentingan publik sehingga berakibat mempertebal antipati publik dalam bentuk perlawanan bersenjata. Keputusan DOM juga menggambarkan adanya kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi dari elit kekuasaan dan institusi tertentu, yang mendorong dipilihnya tindakan operasi militer (DOM). Model kedua yaitu proses out put organisasi. Perilaku pemerintah dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh organisasi-organisasi pemerintah, Fokus perhatian terletak pada struktur organisasi, baik pada tingkat pusat (Pangab) maupun region (Pangdam), di mana keputusan tersebut secara otoritatif diputuskan. Keputusan DOM tersebut merupakan legitimasi dari organisasi militer (Pangdam) dan Polisi (Kapolda), yang dapat memaksakan untuk dipatuhi masyarakat Aceh. Formulasi keputusan dikoordinasikan dengan menggunakan prosedur operasi standar (SOP) yang merefleksikan rutinitas organisasi dalam mengambil keputusan. Model ketiga adalah sistim politik birokratis. Keputusan disini merupakan respon sistem politik pemerintah terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan, seperti halnya pemberontakan GAM. Aksi pengerahan politik dan permainan tawar menawar terjadi diantara aktor-aktor organisasi pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan di luar pemerintah. Ketidak sepakatan fundamental dapat terjadi di antara aktor-aktor tentang bagaimana menghadapi pemberontakan GAM tersebut, sehingga analisis yang bermunculan akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang saling bertentangan. Walaupun ketiga model di atas menggambarkan faktor-faktor yang berbeda dalam analisisnya, pandangan pemerintah dalam memilih keputusan menghadapi GAM, tidak luput dari perhitungan konsekuensi dari solusi yang dipilih, sehingga implikasi negatif dapat diminimalkan

Government decision to carry out military operation in Aceh region, which was latter known as so-called DOM (Military Operation Zone), was a public policy under national security framework The issue is that whether the decision for DOM was appropriate and necessary answer. In terms of rational actor model, the decision was expected to shed the light on causal relation between government's objective and infrastructure application. The key trigger behind rebellious GAM (Independent Aceh Movement) has been unjust treatment from the part of authoritative government and striking ignorance over Acehenes's dignity. The emerging diruptive eruption was more or less expression of their disappoinment. While in government side, security issue took the bulk of consideration for dealing with any conflict. The latter's tendency for security approach (DOM) to solution then reflected this way of reaction. The events took place since 1989 to 1999, with massive civilian victims, resulted from a security-based policy which neglected, in a great measure, public interest, causing a mounting public antipathy taking the form of armedresistance. Decision for DOM also reflected some economical and political interest from the part of particular institutions and ruling elites, triggering the option for DOM. The second model is organization output process. Government behavior in decision making is affected by government's organization. The foci is on organizational structure, either at central (Pangab) or regional (Pangdam) levels the points where such a decision is authoritatively made. Decision formulation is coordinated by using standard operation procedure (SOP) reflecting organizational routine in decision making. The third model is government's political system, The decision is seen as actors of govemment's organizations and external interest groups. There big possibility for fundamental disagreement among the actors around how to deal with GAM rebellion, which accordingly resulted in competiting and often contradicting recommendations. Though all there models above describe different factors in their analysises, govemment perspective in finding best decision to deal with GAM, did not account for its possible effects at the first place, which make possible for earlier effect minimah'z ation.

Kata Kunci : Kebijakan Pemerintah,Keamanan Nasional,Konflik Aceh


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.