Laporkan Masalah

Melawan Stigma: Perjuangan Komunitas Waria di Yogyakarta

INESTYA K, Dr. M. Phil. Arie Setyaningrum Pamungkas, MA

2017 | Skripsi | S1 SOSIOLOGI

Waria merupakan kelompok paling rentan mengalami penindasan berlapis-lapis. Mereka dianggap aneh karena ketidakselarasan antara tubuh anatomis dan tampilan luar. Ketidakselarasan ini membuat akses mereka terhadap pekerjaan yang layak terhambat, sehingga waria biasanya identik dengan mengamen, melacur atau bagi yang beruntung dapat bekerja di salon. Feminisme yang membawa bendera kesetaraan gender di Indonesia belum mampu keluar dari kerangka perempuan vs laki-laki, sehingga feminisme belum banyak membantu menjelaskan penindasan yang terjadi pada perempuan transgender. Pemerintahan Orde Baru dan Reformasi bermain peran penting dalam memproduksi dan mereproduksi nilai-nilai heteronormatifitas dalam rangka menciptakan model dan identifikasi warga negara ideal, yakni laki-laki dan perempuan heteroseksual dan seksualitas untuk reproduksi. Akibatnya, waria terstigmatisasi karena tidak bisa menyesuaikan aturan gender dan seksualitas versi pemerintah, dan menjadi sasaran empuk tindakan diskriminatif hingga kekerasan dari lingkungan sekitarnya. Berdasarkan observasi di lapangan, waria cenderung untuk hidup berkelompok dengan sesamanya sebagai ruang aman untuk mengekspresikan identitas kewariannya, yang kemudian berkembang menjadi komunitas sebagai sumber pemberdayaan untuk bersejahtera bersama. Hal ini tidak lepas dari peran waria yang mampu mentransformasi eksistensi dirinya menjadi broker elit sekaligus role model komunitas. Di Yogyakarta saat ini ada tiga komunitas waria besar yang memiliki agenda berbeda-beda. Pondok pesantren waria Al-Fattah bergerak di isu religiusitas, LSM Kebaya di isu kesehatan khususnya penanggulangan HIV/AIDS dan IWAYO bergerak dalam isu advokasi. Meningkatnya aksi intoleransi yang kini lebih terbuka menyerang komunitas waria, mendorong adanya perubahan strategi pergerakan dalam mempertahankan eksistensi identitas waria. Sayangnya, perubahan strategi ini justru memecah internal komunitas waria menjadi beberapa kubu dan mengakibatkan vakumnya salah satu kepengurusan komunitas waria, IWAYO.

Waria are one of the most vulnerable groups facing multi-layered oppression. They are considered weird because of the dissonance between their anatomical body and outward appearance. This misalignment hampers their access to decent work, so waria are typically synonymous with singing in the street, prostitution or the lucky ones to work in the salon. Feminism carrying gender equality flags in Indonesia have not been able to get out of the framework of women vs men, so feminism has not helped to explain the oppression of transgender women. The government of New Order and Reform played an important role in producing and reproducing heterogeneity values in order to create models and identification of ideal citizens, male and female heterosexual and sexuality for reproduction. As a result, waria are stigmatized because they cannot adjust the government rules of gender and sexuality, and become the easy target of discriminatory action such as violence from the surrounding environment. Based on field observations, waria tend to live in groups with each other as a safe space to express their identity, which then develops into a community as a source of empowerment to prosper together. This is influenced by the role of waria who are able to transform their existence into elite brokers as well as community role models. In Yogyakarta today, there are three largest waria communities that have different agendas. Pondok pesantren waria Al-Fattah is involved in the issue of religiosity, LSM Kebaya on health issues especially HIV/AIDS prevention and IWAYO is involved in advocacy issues. Increased intolerant action that is now more open to attack the waria community, encourages a change in movement strategy in maintaining the existence of waria identity. Unfortunately, this change of strategy actually splits the waria community into several parties and resulted in the vacuum of the administration of the waria community, IWAYO.

Kata Kunci : waria, stigma, heteronormatifitas, komunitas, strategi gerakan

  1. S1-2017-348486-abstract.pdf  
  2. S1-2017-348486-bibliography.pdf  
  3. S1-2017-348486-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2017-348486-title.pdf