Wachdatul-Wujud dalam Ma'ul-Chayat Li Ahlil-Mamat :: Analisis resepsi terhadap konsep Maujud dan wujud dalam Tibyan, Mir'atul-Muchaqqiqin, Syarabul-Asyiqin, Al-Muntahi, dan suntingan teks
SANGIDU, Promotor Prof.Dr. Siti Chamamah Soeratno
2002 | Disertasi | S3 Ilmu SastraPenelitian ini bertujuan mengungkapkan tanggapan pembaca terhadap konsep rasa bersatunya manusia (maujud) dengan Tuhan (Wujud) atau terkenal dengan sebutan Wachdatul- Wuj Cd, baik menurut ajaran tasawuf Hamzah, Syamsuddin, maupun ajaran tasawuf Nuruddin dalam teks MS'ul-ChaySt dan kaitannya dengan teks Tibyan, Mir'atul-Muchaqqiq2nY S'arabul- '&iq 2n, dan teks Al-Muntah i disertai suntingan teks Ma^ 'ul-Chayat. Pengungkapan konsep Wachdatul- Wuj fid tersebut memanfaatkan teori filologi dengan metode landasan atau legger dan teori resepsi dengan metode intertekstual. Adapun kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah bahwa menurut Hamzah dan Syamsuddin, Tuhan berada dalam kandungan wujud alam semesta seisinya. Artinya, Tuhan merupakan hakikat alam empiris. Selain itu, mereka berpendapat dan beriktikad bahwa nyawa itu bukan Khalik dan bukan makhluk, tetapi nyawa itu berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, seperti ombak kembali ke laut. Pada saat manusia melihat Ke-Agung-an (JalSo dan Ke-Indah-an (JamSl) Tuhan, tidak ada yang dilihat dalam din manusia kecuali Tuhan sehingga ia mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan. Untuk itulah, mereka mengatakan bahwa wujud itu hanya satu, yaitu wujud Allah Ta'ala Yang Mutlak dan selain-Nya tidak ada wujud. Dari konsep inilah, mereka mengatakan dan beriktikad bahwa manusia diciptakan Allah dengan cara tidak langsung, yakni dari bahan yang telah ada atau pre-eksis (aZ-mzddatul- ,212) sehingga kedclanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya (Wachdatul- Wujfid). Pendapat dan iktikad Hamzah dan Syamsuddin di atas ditentang keras oleh Nuruddin. Ia berpendapat dan beriktikad bahwa apabila wujud Allah Ta'ala berada dalam kandungan wujud alam semesta seisinya, maka segala barang yang cemar dan najis pun adalah Allah Ta'ala. Pendapat dan iktikad yang demikian ini tidak dapat diterima oleh aka1 pikiran. Alam semesta seisinya dan termasuk juga nyawa manusia adalah ha1 yang ban (rnuchdats) karena semuanya diciptakan oleh Allah secara Zangsung dari yang tidak ada (creatio ex nihilo). Penciptaan alam semesta seisinya dari yang tidak ada, tidak akan menimbulkan akibat perubahan DzSt Allah karena irSdah Allah yang kadim (kekal) memang menghendaki penciptaan seperti itu. Selain itu, ia juga mengatakan dan beriktikad bahwa wujud itu ada dua, yaitu wujud hakiki dan wujud khaySl2. Wujud hakiki adalah wujud Allah Ta'ala Yang Mutlak dan Harus Ada (W@bul-Wuj&f), serta sebagai wujud yang tidak tampak. Sementara itu, wujud khaySl2 adalah wujud alam semesta seisinya dan merupakan wujud yang munglun ada (Mumkinul-Wujfid), serta sebagai wujud yang tampak. Artinya, wujud alam semesta seisinya termasuk manusia bergantung kepada wujud Allah Ta' ala sehingga hubungan antara keduanya merupakan hubungan sebab-akibat. Memang tidak dapat dipungluri bahwa pada saat manusia melihat Ke-Agung- an (JalS0 dan Ke-Indah-an (Jam30 Tuhan, tidak ada yang dilihat dalam diri manusia kecuali Tuhan, tetapi bukan Tuhan dalam arti yang sebenarnya. Karena itu, mereka mengatakan bahwa dirinya itu seolah-olah melihat Tuhan ( Wachdatusy-Sph iid). Dengan demikian, alam semesta seisinya termasuk manusia merupakan makhluk (yang diciptakan) dan Allah Ta'ala merupakan Khalik (Pencipta). Pendapat Hamzah, Syamsuddin, dan Nuruddin yang bertentangan di atas, tidak dapat dipersatukan karena masing-masing memandang dari aspek yang berbeda dan mempunyai alasan sendiri-sendiri. Karena itu, perkataan dan iktikad Hamzah, Syamsuddin, dan Nuruddin semuanya sama-sama mempunyai alasan yang kuat karena masing-masing telah memperoleh ilmu ludunn 2 ataupun ilmu mu 'rfutuZ-LSh yang berbeda-beda dari Allah Ta'ala. Ilmu ZudunnZ adalah ilmu gaib yang dapat mengetahui segala hal, baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Ilmu ini merupakan pemberian langsung dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh melalui ilham atau mimpi. Sementara itu, ilmu mu'rfutul-LSh adalah ilmu untuk mengetahui dan mengenal Allah, baik yang transenden (mu'rifah tanzZh) maupun yang imanen (mu'rifuh tusyb2h).
This research is aimed at explaining response of the reader towards the concept of God-human union consciousness or well known as Wuchdutul- Wuj r?d, both according to the tasawuf teaching of Hamzah, Syamsuddin, and according to the tasawuf teaching of Nuruddin in the text of MS’uZ-ChaySt and its relation to the text of TibySn, Mir ‘atul-Muchuqqiqln, Syurabul- ‘&yiqZn, and the text of Al-Muntuh 2, and accompanied by the text editing of Ma^’d-Chaya^t. The explanation of the concept of WuchdatuZ-Wujr3d is done by applying philological theory by using the base method or legger and theory of reception by using intertextual method. The conclusion resulted from the research is that, according to Hamzah and Syamsuddin, God exists in the wujud of universe and everything in it. Which means that God is the essence of empirical world. In addition, they argue and believe that human’s spirit is not Khalik nor mukhluk, but it comes from God and will return to Him, like the waves that go back to the ocean. When human is witnessing the Greatness (JulSl) and the Beauty (JumSl) of God, there is nothing seen in him or herself but God, so that one will say that she or he is God. Therefore, they say that the wujud is only one, namely the Wujud of God Himself which is Absolute and there is no wujud other than that of God. Based on this concept they then further argue that human was created by God indirectly, that is from the available or pre-existent material (ul-mSddutul-6lS) so that both of them is one and the same entity and thus is inseparable from each other ( Wuchhtul- Wuj 64. The above mentioned view was bitterly opposed by Nuruddin. He said and believed that if the wujud of God Himself is contained within the wujud of the universe and everything in it then even any contaminated and dirty thing is God Himself. This kind of opinion and conviction can not be accepted by the reason. The universe and everyhng in it, including the human’s spirit is something-new (muchduts) since they were created by God directly from nothing (creutio ex nihilo). Furthermore, the creation of universe and everything in it from nothingness will not result in any change in God’s DzSt since the God’s eternal iruduh in fact assumes that kind of creation. In addition, he also said and believed that actually there are two types of wujuds, namely essential wujud and imaginary wujd. The essential wujud belongs to God Himself which is Absolute and inevitable ( WSjibul- Wuj 64, and is the unseen wujud. Meanwhile, the imaginary wujud belongs to the universe and everythmg in it and is a possible existence (Murnkinul-Wujrid); that is the wujud that can be seen. Which means that the wujud of universe and everything in it, including human being, depends on the Wujud of God Himself so that the relation between the two is a cause-effect relation. In fact, it is unavoidable that when human is witnessing the Greatness (Julsl) and the Beauty (JurnSl) of God, there is nothing seen in him or herself but God, but that is not God in the real sense. Therefore, they state that they as if see God ( Wachdatusy-S’h 64. Hence, the universe and everything in it, including human being, are mukhluk (the created) and God Himself is Khalik (the Creator). Those above mentioned contradictory views of Hamzah, Syamsuddin, and Nuruddin, however, can not be compromised with regard to the fact that each side depart from different perspectives and is supported by each own reasons. In relation to this, the researcher himself argues that each statement and conviction of Hamzah, Syamsuddin, and Nuruddin has each own equal strong arguments. Each of them has gained different ilmu ladunni or ma'rifatul-LSh knowledge ffom God Himself. Ilmu ladunni is a mystical knowledge by which someone may comprehend everything, both those happened in the past and those to happen in the future. This knowledge is an immediate gift from God given to His devoted servants through inspiration or dreams. Meanwhile, ilmu maiifatul-LJh is a knowledge to comprehend and to be acquainted with God, both the transcendent (ma'rfah tansih) and the immanent (ma'rifah tasyb2h).
Kata Kunci : Sastra Indonesia,Wachdatul,Wujud,Hamzah dan Syamsuddin