Laporkan Masalah

Analisis Konflik Kelembagaan antara Lembaga Sampiran Negara dan Lembaga Utama Negara: Studi Kasus Konflik KPK dan POLRI Jilid III

ARI DWI HANDOKO, Dr. Rer. Pol. Mada Sukmajati, S. IP., M.P.P.

2017 | Skripsi | S1 ILMU PEMERINTAHAN (POLITIK DAN PEMERINTAHAN)

Pemerintah seringkali dihadapkan dengan permasalahan serius terkait krisis kepercayaan masyarakat terhadap agenda pemberantasan korupsi oleh lembaga utama negara. Krisis kepercayaan tersebut yang memunculkan gagasan pembentukan KPK sebagai lembaga antikorupsi yang independen. Hanya saja, kehadiran KPK yang diharapkan mampu untuk meningkatkan efektifitas pemberantasan korupsi, tetapi kenyataannya KPK menimbulkan konflik dengan POLRI terhadap penanganan kasus korupsi di internal lembaga POLRI. Sebab kemunculan konflik kelembagaan yang dihadapkan oleh kedua lembaga menjadi permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Sangat menarik, pernyataan yang dikeluarkan oleh Talcott Parsons bahwa sebuah relasi antar lembaga memiliki tautan dengan sumber ketegangan berupa perbedaan kepentingan dan perebutan sumber daya. Sumber ketegangan ini yang kemudian telah memberikan sebuah jarak antara setiap lembaga dan tindakan masing-masing lembaga sehingga tidak ada sebuah sistem dengan pola konsistensi sempurna mampu melembagakan secara penuh dalam konkret kemasyarakatan. Hal ini yang mendasarkan konflik kelembagaan lebih banyak disebabkan oleh permasalahan kebutuhan fungsi goal-attainment dan integrasi dari Teori AGIL Talcott Parsons. POLRI yang seringkali menolak mengintegrasikan tujuan lembaganya ke dalam tujuan sistem menjadi permasalahan utama dari kebutuhan fungsi goal-attainment. Pejabat tinggi POLRI yang menjadi kelompok dominan cenderung mampu memasukkan kepentingan mereka ke dalam tujuan lembaga dan mengendalikan tujuan lembaga tersebut. Dominasi kepentingan ini yang kemudian mengakibatkan terbentuknya sebuah relasi bergantung di dalam lembaga POLRI. Hal ini ditambah dengan sistem pengambilan keputusan yang tunggal dan hirarki yang mampu mengakibatkan terpeliharanya relasi bergantung di lembaga POLRI sehingga diskriminasi proteksi mampu diterapkan oleh lembaga tersebut. Penerapan diskriminasi proteksi yang mengakibatkan muncul konflik pada relasi antar lembaga. Penolakan tugas dan wewenang supervisi KPK serta proses tarik ulur para penyidik KPK telah menunjukkan monopolistik kewenangan oleh POLRI untuk kepentingan dari kelompok dominan. Kedua lembaga akan selalu berkompetitif memperebutkan kekuasaan dan sumber daya dalam sistem untuk pencapaian tujuannya. Perebutan kekuasaan dan sumber daya ini sangat rentan terjadi di dalam persinggungan kekuasaan sehingga kedua lembaga dapat memberlakukan dua prinsip yang berbeda dalam sebuah koordinasi antar lembaga. Alhasil, argumen dari penelitian ingin mengatakan bahwa peningkatan efektifitas pemberantasan korupsi dapat terwujud dengan baik apabila KPK mendapatkan dukungan mutlak dari lembaga lama. Dukungan ditujukan untuk menghindarkan konflik yang mampu melemahkan fungsi kelembagaan dari lembaga anti korupsi

Government always have a seriously problem about distrust of society because some of government employees have corruppted in their linear sector institutions. In this situation, government has institutionalised KPK as a state auxilliary agenncies or independent comission for corruption erradication agenda. The preserence of KPK hope will be improving efektiveness corruption erradication, but in the actually KPK always conflict with POLRI as a primary state agencies. Cause emergence of the institution conflict between KPK and POLRI to be problem explained in this research. Very interesting, arguments issued by Talcott Parsons said an inter-institutional relationship has links to sources of tension in the form of different interests and struggle of resources. Then this tension have given a distance between each institutions and the actions of each institution so no one system of value-orientation with perfect consistency in it�s pattern can be fully institutionalised in concrete society. From that arguement, we knew that this institutional conflict caused problem by needs of goal-attaiment function and needs of integration function. The main problem from needs of goal-atttainment function caused POLRI always reject integration his goals institutions to be goal-state. High-ranking police officers as a dominant group could be change his interest to within goal institutions and control that�s goal institutions. The dominance of this interest which then resulted in the formation of a "relation dependent" within the POLRI institution. This is coupled with a single and hierarchical decision-making system capable of maintaining reliance dependent on the POLRI institution so that protective discrimination can be applied by the agency. Implementation of discriminatory protection have involved appearance institutional conflict within inter-institutions. Reject duty and authority supervision KPK represented monopolistic authority POLRI for interest of dominant group. Struggle power and resources are very vulnerable in the intersection of power so the two institutions can applied two different principles in an inter-institutions coordination. As a result, arguments issued by this research would be said an increase effectiveness of corruption eradication can be realized well if KPK had get absolute support from old institution. Support is aimed at avoiding conflicts that could undermine the institutional function of anti-corruption institutions.

Kata Kunci : conflicts, institutional, state auxilliary agencies