PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES PERENCANAAN TATA RUANG DESA DI KABUPATEN BOJONEGORO STUDI KASUS: DESA SUMBERJOKIDUL KECAMATAN SUKOSEWU TAHUN 2015 DAN DESA NAPIS KECAMATAN TAMBAKREJO KABUPATEN BOJONEGORO TAHUN 2016
M. HUAN SYAHPUTRA, Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP., Ph.D. ; Doddy Aditya Iskandar, S.T., MCP., Ph.D.
2017 | Tesis | S2 Perencanaan Kota dan DaerahKabupaten Bojonegoro terus melakukan inovasi-inovasi untuk membangun daerahnya, salah satu terobosan terbaru Kabupaten Bojonegoro adalah Rencana Tata Ruang Desa. Salah satu program rencana tata ruang desa ini bertujuan untuk mewujudkan sinergitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Desa/Kelurahan, yang dituangkan dalam rencana pembangunan dan untuk mempercepat pemerataan pembangunan disemua sektor diseluruh Desa/Kelurahan untuk mengurangi disparitas antar wilayah dan mewujudkan kemandirian serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Terdapat gap teoritik antara teori-teori yang belum dapat menjelaskan proses perencanaan tata ruang dengan fenomena empiris di Kabupaten Bojonegoro. Tujuan penelitian ini adalah (a) mendeskripsikan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang desa pada tahun 2015 dan tahun 2016 di Kabupaten Bojonegoro, (b) menemukan dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses perencanaan tata ruang desa tersebut. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus tunggal holistik dengan multi unit analisis karena kasus yang dipilih merupakan kasus yang unik. Kasus I yaitu Desa Sumberjokidul Kecamatan Sukosewu pada tahun 2015 yang menjalankan program rencana tata ruang desa sebagai pilot project dan Kasus II Desa Napis Kecamatan Tambakrejo pada tahun 2016 yang merupakan salah satu desa yang menjalankan program ini pada tahun 2016. Penelitian ini ingin melihat perbedaan yang terjadi antara Kasus I dan Kasus II yang dilaksanakan pada tahun yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara Kasus I dan Kasus II pada pelaksanaannya. Kasus I dan Kasus II masih didominasi oleh peran konsultan perencana, sehingga partisipasi masyarakat masih sangat terbatas. Faktor yang sangat mempengaruhi proses perencanaan tata ruang desa ini adalah faktor konsultan perencana (pakar). Kesimpulan yang didapat adalah partisipasi masyarakat baik pada Kasus I dan Kasus II masih rendah. Hal ini dikarenakan hampir seluruh rangkaian proses dilaksanakan oleh konsultan perencana. Dengan menggunakan pedoman yang sudah ada, yaitu pedoman umum penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota. Maka baik Kasus I dan Kasus II secara keseluruhan dapat dilihat bahwa konsultan perencana menggunakan prosedur dan pedoman tersebut. Partisipasi masyarakat pada Kasus I dan Kasus II hanya terlihat pada tahapan FGD atau diskusi.
Bojonegoro district continues to make innovate to build their territory, one of latest breakthrough Bojonegoro District is the Villages Spatial Planning. One of the village spatial plan program is to realize the synergy of planning and implementation of development in the villages, as outlined in the development plan and to accelerate development equity in all sectors throughout the village to reduce the disparity between regions and realize independence and improve the quality of human resources. There is a theoretical gap between theories can not explain the spatial planning process with empirical phenomena in Bojonegoro. The objectives of this research are (a) to describe community participation in village spatial planning process in 2015 and 2016 in Bojonegoro District, (b) find and explain the factors that influence the village spatial planning process. This study used a single holistic case study method with multi-unit analysis because the selected case was a unique case. Case I is Sumberjokidul village Sukosewu sub-district in 2015 which runs the village spatial plan program as a pilot project and Case II Napis Village Tambakrejo sub-District in 2016 which is one of the villages that run this program in 2016. This study would like to see the differences that occurred between Case I and Case II that were implemented in different years. The results showed that there was no significant difference between Case I and Case II in the implementation. Case I and Case II are still dominated by the role of a consultant planner, so that public participation is still very limited. Factors that influence the spatial planning process of this village is the factor of planning consultants (experts). The conclusion is that community participation in both Case I and Case II is still low. This is because almost all the series of processes carried out by the consultant planner. Using the existing guidelines, the general guidelines for the preparation of district/city spatial plans. Community participation in Cases I and Case II is only seen in the FGD or discussion phase.
Kata Kunci : Community participation, Process Planning, Spatial village