Laporkan Masalah

Upaya Koersif Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis Di Daerah Istimewa Yogyakarta (Perspektif Hak Asasi Manusia)

FAIZ AMRIZAL SD, Andi Sandi Antonius TT., S.H., LL.M.

2017 | Tesis | S2 Ilmu Hukum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji urgensi upaya koersif dalam penanganan gelandangan dan pengemis di Daerah Istimewa Yogyakarta; dan untuk menganalisis upaya koersif terhadap pengananan gelandangan dan pengemis di Daerah Istimewa Yogyakarta ditinjau daru perspektif hak asasi manusia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris yang dilakukan melalui penelitian pustaka dan penelitian lapangan. Pengaturan mengenai penanganan gelandangan dan pengemis di Daerah Istimewa Yogyakarta telah sesuai dengan amanat yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa hal tersebut masuk dalam kategori urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Salah satu upaya yang dilakukan yakni melalui upaya koersif. Upaya koersif merupakan salah satu proses rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis yang memilih menggunakan pendekatan dengan paksaan namun tidak disertai dengan kekerasan. Selain itu, negara dalam hal ini pemerintah daerah masih memiliki kewenangan untuk memaksa warga negaranya agar patuh dan taat pada hukum. Oleh karena itu dalam penanganan gelandangan dan pengemis tersebut, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memandang perlu menggunakan upaya koersif sebagai salah satu proses rehabilitasi sosial. Petugas yang berwenang menjangkau guna menertibkan gelandangan dan pengemis ini adalah Satpol PP dan kepolisian. Namun dalam praktiknya ditemukan tindakan kekerasan dalam penertiban yang sifatnya reaktif dari petugas karena gelandangan dan pengemis tersebut memberikan perlawanan. Selain itu, muncul pula masalah lain dampak dari maraknya operasi salah tangkap (bukan sasaran) yang dilakukan petugas. Setelah dibawa ke camp assessment (tempat rehabiliatasi sementara), banyak dari mereka yang ditahan dalam waktu 4-7 hari tanpa ada status lebih lanjut. Tentu yang demikian melanggar kebebasan seseorang yang tidak bersalah dan lambatnya meperoleh kepastian hukum. Selain yang demikian melangkahi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hal lain yakni belum terlaksananya kewajiban negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil) hak warga negara.

The purpose of this research is to examine the urgency of coercive actions in the handling of homeless and beggars in the Yogyakarta Special Province; and to analyze coercive actions against homeless and beggar trafficking in the Yogyakarta Special Province in terms of human rights perspectives. This research is an empirical normative legal research conducted through literature research and field research. The regulation concerning the handling of homeless and beggars in the Yogyakarta Special Province has been in accordance with the mandate written in Law Number 23 Year 2014 on Regional Government, that it falls under the category of government affairs which is the authority of the province. One of the actions is through coercive actions. Coercive actions are one of the social rehabilitation processes of homeless and beggars who choose to use a coercive approach but are not accompanied by violence. In addition, the state in this case the local government still has the authority to force its citizens to obey and obey the law. Therefore, in handling the homeless and beggars, the government of Yogyakarta Special Province considers it necessary to use coercive actions as one of the social rehabilitation process. Authorities to reach out to discipline the homeless and beggars are the Civil Service Police Unit and the police force. In practice, however, violence was found in the reactive nature of the officers because the vagrant and beggar provided resistance. In addition, there are also other problems arising from the rampant operation of catches (not targets) by officers. After being taken to a temporary rehabiliation camp, many of them were detained within 4-7 days without any further status. Of course it violates an innocent person's freedom and the slow pace of legal certainty. In addition to this, the Act on Law Number 39 Year 1999 on Human Rights has not been implemented, but the obligation of the state to respect, protect, and fulfill citizens' rights.

Kata Kunci : gelandangan dan pengemis, upaya koersif, hak asasi manusia

  1. S2-2017-387663-abstract.pdf  
  2. S2-2017-387663-bibliography.pdf  
  3. S2-2017-387663-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2017-387663-title.pdf