Laporkan Masalah

KEBANGKRUTAN JAPAN AIRLINES DITINJAU DARI PERSPEKTIF CAPITALIST DEVELOPMENTAL STATE DI JEPANG TAHUN 1987-2010

HIKMAH, Noor Laili, Siti Daulah Khoiriati

2011 | Skripsi | Ilmu Hubungan Internasional

Pemerintah Jepang di bawah DPJ memiliki beberapa alasan untuk membiarkan JAL bangkrut. DPJ memiliki orientasi kebijakan untuk mengurangi penggunaan dana publik dalam mem-bailout perusahaan. DPJ cenderung menghargai masyarakat pembayar pajak sehingga akan mengurangi penggunaan public spending yang tidak perlu. Selain itu DPJ juga menginginkan terciptanya pasar bebas di Jepang sehingga pemerintah membiarkan JAL bertahan menghadapi sendiri resesi yang dialami perusahaannya. DPJ juga memiliki orientasi kebijakan untuk menghilangkan political funding antara pebisnis dan politisi. Sehingga koalisi atau basis utama pendukung DPJ bukan berasal dari kalangan bisnis seperti LDP. Hal ini menyebabkan pemerintah DPJ berani mengambil kebijakan untuk membiarkan JAL bangkrut. Pergantian kekuasaan dari LDP ke DPJ turut mempengaruhi perbedaan pengambilan kebijakan di antara dua masa pemerintahan terhadap JAL. LDP yang telah berkuasa selama 50 tahun dan cenderung lebih konservatif akan tetap memberikan bailout pada JAL jika dihadapkan pada masalah tersebut. Namun, LDP ternyata harus menerima kekalahan dari DPJ pada pemilu 2009. Sehingga nasib JAL saat itu yang sudah berada di ambang kebangkrutan menjadi semakin tidak pasti. Karena DPJ tidak akan memakai dana publik untuk kepentingan bantuan terhadap perusahaan seperti yang dilakukan LDP. Pada akhirnya, JAL dibiarkan bangkrut oleh pemerintah DPJ. Hal itu menunjukkan bahwa ketika terjadi peralihan kekuasaan, pengambilan kebijakan yang berbeda dipengaruhi perbedaan ideologi (orientasi kebijakan partai) dan koalisi (basis pendukung). Meskipun JAL tergolong perusahaan penting (flag carrier) yang merupakan personifikasi negara, pemerintah DPJ tidak langsung memberi bailout. Jika JAL dibailout tanpa melalui restrukturisasi akan sangat merugikan negara karena dibutuhkan dana yang besar dan JAL memiliki manajemen yang buruk. Sehingga, hal yang sama dapat terjadi di kemudian hari jika pemerintah terus memberi bantuan tanpa restrukturisasi. Selain itu, alasan bangkrutnya JAL juga dapat dilihat dari segi popularitas politis yang diperoleh pemerintah DPJ karena mengambil kebijakan yang tidak merugikan anggaran negara dan dana publik. Peristiwa bangkrutnya JAL menunjukkan adanya perubahan dalam implementasi capitalist developmental state di Jepang. Setelah melakukan perbandingan antara kasus JAL dengan implementasi capitalist developmental state di era sebelum bubble economy menunjukkan bahwa capitalist developmental state masih bertahan. Namun, disertai dengan perubahan dalam implementasinya.Terdapat beberapa elemen yang mengalami perubahan misalnya, dalam hal pemberian stimulus perusahaan, keterbukaan dengan pihak asing, dan lifetime employment. Pemerintah masih tetap memberikan bantuan dana pada JAL, tetapi melalui kebangkrutan dan restrukturisasi. Baik pemerintah LDP maupun DPJ sama-sama memberikan bantuan kepada JAL, tetapi dengan cara yang berbeda. LDP cenderung lebih mudah dalam memberikan bantuan, sedangkan DPJ baru akan memberikan bailout setelah perusahaan mengalami restrukturisasi. DPJ memang tidak menyatakan secara langsung akan mempertahankan capitalist developmental state tetapi sikap pemerintah DPJ yang tetap memberikan dana bailout terhadap JAL melalui restrukturisasi membuktikan bahwa pemerintah masih mengadaptasi sistem ini. Peralihan kekuasaan merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan implementasi capitalist developmental state dalam kasus JAL. JAL juga mulai bekerja sama dengan pihak asing dengan tergabung dalam One World Alliance. Sistem lifetime employment sudah mulai tidak sesuai lagi karena akan membebani anggaran perusahaan. Apalagi dalam masa restrukturisasi, pengurangan jumlah pegawai secara besar-besaran mulai dilakukan. Capitalist developmental state dapat mengalami perubahan jika terdapat pergantian kekuasaan seperti yang terjadi di Jepang. CDS model Jepang banyak diadaptasi oleh negara lain yang dikenal dengan flying geese pattern. Negara-negara tersebut harus siap untuk melakukan adaptasi seperti yang terjadi pada Jepang jika nantinya terdapat pergantian kekuasaan dua partai yang memiliki orientasi kebijakan yang berbeda. Perubahan model CDS harus diikuti oleh adaptasi dari negara, masyarakat, maupun kalangan bisnis. Perubahan tersebut akan menyebabkan perubahan struktur ekonomi maupun politik sehingga diperlukan penyesuaian oleh masyarakat maupun negara. CDS memang telah diikuti oleh banyak negara, tetapi implementasi sistem ini di setiap negara berbeda-beda menyesuaikan dengan kondisi negara tersebut. CDS sudah mengalami banyak pergeseran di beberapa negara di Asia yang berhasil menerapkan sistem ini (Korea Selatan dan Taiwan) pasca terjadinya krisis Asia 1997. Negara-negara penganut CDS tersebut sudah mulai menerapkan liberalisasi dan mulai mengurangi sistem ini. Meskipun kasus JAL memperlihatkan bahwa perubahan CDS dapat menciptakan kegagalan besar bagi perusahaan. Di beberapa negara lain terutama di negara berkembang, CDS masih menjadi sistem yang diminati. Karena campur tangan pemerintah yang kuat memang masih dibutuhkan bagi negara berkembang yang masih mengupayakan pembangunan ekonominya.

Kata Kunci : Ekonomi Jepang


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.