Masyarakat (Tanpa) Sekolah (Studi Tentang Kontestasi Peran Keluarga, Masyarakat Dan Negara Dalam Pendidikan Dasar Di Desa Buniayu, Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang)
Ady Saputra Wansa, Derajad S.Widyharto
2011 | Skripsi | SosiologiPerjalanan panjang mengeja realitas di pojokan Tangerang akhirnya usai sudah. Layaknya sebuah perjalanan, selalu menyisahkan sebuah ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang menginsafi tiap jejak yang dia torehkan di tanah. Atau dalam bahasanya Mead, ada proses evaluative yang selalu dilakukan oleh I ketika diri bertemu dengan realitas. Sebagai homo sapien, berpikir dan memaknai “ritual” merupakan kewajiban dan konsekuensi. Karena berkembangnya kebudayaan manusia adalah hasil dari proses perenungan tersebut. Sebuah perenungan ibarat hakekat kelahiran nabi dan rosul, yakni perenungan yang hasilnya hanya untuk konsumsi pribadi, dan perenungan yang ditujukan untuk dunia yang lebih luas. Begitu juga perjalanan panjang peneliti di Buniayu, juga menyimpan pesan untuk Indonesia, dan juga untuk pribadi kita masing-masing dalam upaya mengungkap sebuah risau tentang apakah mungkin kalau kita melahirkan masyarakat (tanpa) sekolah?. A. Dari Pojok Tangerang Ke Nusantara Kiranya teralalu ambisius untuk menempatkan penelitian di sebuah desa kecil Tangerang untuk kemudian dicari ibrahnya skala nasional. Tapi kalau dilihat dengan seksama hasil penelitian di atas maka ada beberapa hal yang bisa disoroti dan diambil perenungan untuk memajukan pendidikan di Nusantara. Permasalahan utama yang sering kita hadapi, dalam melihat permasalahan pendidikan adalah dengan memilih siapa yang salah dan siapa yang benar. Walhasil pendekatan egoistik seperti ini hanya menempatkan stakeholder yang 161 dipersalahkan mencari pembenar atas kebijakan mereka. Kalau kita ambil contoh hasil tes calistung yang peneliti lakukan. Bisa kita lihat beberapa kendala yang menyebabkan kenapa hasil tes calistung sisiwa masih banyak yang berada di bawah rata-rata. Dengan cepat kita mungkin bisa menunjuk siapa yang salah, terlebih sekolah memiliki tanggung jawab atas hal ini. Akan tetapi kalau kita melihat dengan seksama maka, peran keluarga dan masyarakat yang terlalu permisif juga merupakan indikator menurunnya kualitas belajar siswa (kemampuan calistung). Dari hasil wawancara tidak ada satu pihakpun berani dengan sadar menyadari kalau ada kesalahan dalam praktek pengajaran. Guru menyalahkan orang tua dan masyarakat. Disatu sisi orang tua, tidak menggunakan haknya untuk mengetahui informasi mengenai keadaan anak-anaknya, baik dengan berkunjung ke sekolah atau sekadar melihat hasil belajar anak di dalam raportnya. Melalui penelitian ini kita melihat bahwa, pendidikan bisa sampai pada sukses yang gilang gemilang apabila agen-agen sosialisasi (belajar) siswa mampu memerankan fungsinya dengan baik, tidak anomali, dan tidak mencari bentuk pengetahuan yang lain, yang akhirnya memaksakan anak untuk mencercap pengetahuan. Tapi disatu sisi mereka tidak menemukan teman belajar dalam lingkungan keseharian mereka. Penelitian ini tidak menggeneralisasi kegiatan belajar mengajar yang tersebar di nusantara. Tapi kalau kita lihat dari uraian di atas maka, sikap anomali nilai yang diajarkan dan ditanamkan oleh guru, dalam praktek keseharian sering dijumpai dibeberapa tempat. Guru melarang muridnya merokok, tapi disatu sisi 162 guru terang-terangan merokok di depan siswa. Guru berkata jangan terlambat ke sekolah, bahkan guru piket harus berteriak untuk “menggiring” masuk siswa. Tapi guru dengan santainya menikmati waktu mengajar dengan bersantai sambil merokok atau berbincang-bincang di kantor. Ketika di minta untuk melakukan evaluasi terhadap metode pengajaran, serentak semua berkata bahwa sudah melakukan pengajaran sesuai dengan kurikulum dan aturan atasan. Atau dengan “congkak” mengatakan kalau sikap orang tua yang tidak perduli pada pendidikan anaklah yang menyebabkan kegagalan tersebut. Tidakkah kehadiran sekolah (guru) adalah dalam rangka untuk menciptakan kesadaran nasional tentang betapa pentingnya pendidikan pada masyarakat. Kalau ternyata sekolah (guru) bertemu dengan masyarakat yang “apatis” terhadap pendidikan tidakkah realitas itulah yang membidani kelahiran sekolah (guru). Karena itulah yang termaktub dalam kode etik guru Indonesia a. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. b. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional c. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. d. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar. e. Guru memilihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat disekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. 163 f. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. g. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. h. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. i. Guru melaksanakan segala kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan177. Proses mengkambing hitamkan agen sosialisasi (belajar) siswa adalah bukti kalau kita a history atau untuk tidak dikatan pikun. Penelitian ini mencoba menguraikan bahwa sikap salah menyalahkan adalah sikap yang paling absurd, tidak solutif bagi pendidikan kita kedepannya. Adalah sebuah permasalahan ketika sekolah bertemu dengan masyarakat yang menempatkan sekolah sebagai barang langkah, dan aneh. Tapi inilah kenyataannya, bangsa ini terlalu luas dan dihuni oleh ratusan ras, golongan, suku bangsa, agama dan yang lebih menakutkan itu semua adalah perbedaan kepentingan. Memang tidak mudah menempatkan dunia pendidikan pada rel netralitas, karena dalam sekolahlah wacana disebarkan, dan Foucault memandang bahwa lewat wacanalah kekuasaan itu disebarkan. Baik dalam proses mempertahankan status quo atau dalam upaya kontestasi perebutan dan perlawanan terhadap 177 Sumber: Kongres Guru ke XVI, 1989 di Jakarta. Dalam Dr. E. Mulyasa, M.Pd. 2008. Standar Kompetensi dan Sertofikasi Guru. Bandung: Rosda. Hal 47. 164 kekuasaan. Tapi juga bukan berati kita harus selalu memasang mata kecurigaan kepada sekolah. Karena proses kontestasi ini sebenarnya bisa diminimalisir apabila agenagen pengajaran, orang tua, masyarakat dan sekolah. Mau lepas dari sifat narsistik dan egoistiknya. Dalam bahasa peneliti legowo untuk membongkar pagar kokoh yang menutupi nilai- nilai idealis mereka masing-masing, dan kemudian menciptakan ruang dialektik dengan baik. Tiap agen benar-benar menjadi guru bagi individu baru. Masyarakat kembali menjadi kekuatan untuk melakukan kontrol sosial terhadap kegiatan yang ditujukan untuk publik (masyarakat) atau ruang-ruang public baik yang sebenarnya atau ruang yang bermakna konotatif. Melihat ketiga bagian ini (keluarga, masyarakat dan sekolah) sebagai bagian yang tidak terpisahkan sepertinya belum menjadi semangat bagi tiap organisasi atau individu yang bergerak pada perbaikan pendidikan. Permasalahannya selalu dianggap sederhana, ketika ada beberapa sekolah dinilai tidak mampu memberikan pendidikan yang tepat pada anak didiknya. Maka sudah lumrah di negeri ini kalau kemudian lahir lembaga-lembaga pendidikan baru yang menekankan pada kebebasan murid memilih pelajaran dan lain sebagainya. Orang tua yang memiliki uang berlimpah juga memiliki bergainning potition untuk memilih sekolah yang “berkualitas” bagi anak-anaknya. Atau apabila dirasa lingkungan sekitar tidak mendukung pengembangan kualitas anak, maka banyak keluarga yang memproteksi diri mereka dengan membangun pagar kokoh di rumahnya, atau pindah ke areal yang tidak memerlukan basa-basi dan sosialisisasi 165 (perumahan elit) dalam kehidupannya. Sikap yang demikian tentu bukan pilihan yang terbaik. Membangun sekolah yang bisa mencetak generasi berkualitas adalah keharusan, tapi merenggut siswa dari orang tua dan masyarakatnya hanya akan menciptakan generasi robotik, pintar secara intelektual dan “bodoh” dalam hal kemanusiaannya. Yang ada realitas kita akan dipenuhi oleh generasi “Gayus”. Pendekatan pendidikan yang digadang oleh Ki Hadjar Dewantara dengan semangat asah, asih dan asuhnya kemudian ditambah dengan ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Pendapat beliau yang menyatakan kalau metode sekolah yang lebih baik adalah metode pondokan. Karena dengan demikian si murid akan terus terpupuk rasa kemanusiaannya. Menunjukkan bahwa Negara akan berhasil memproduksi generasi yang cerdas jiwa dan badannya, apabila Negara mampu mendekatkan kembali sekolah, keluarga dan masyarakat sebagai agen pembelajaran baik yang dituangkan dalam regulasi atau membangun kesadaran.
Kata Kunci : Pendidikan