Laporkan Masalah

Kontruksi PSSI di Layar Televisi (Analisis Wacana Kritis Pemberitaan dan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) di Pemberitaan SCTV dan Metro TV)

Muhammad Zulfi Ifani , Wisnu Martha Adiputra

2011 | Skripsi | Ilmu Komunikasi

Kesimpulan yang akan diangkat adalah ringkasan poin-poin analisis yang telah dibahas di BAB IV. Mulai dari representasi, relasi, identitas, discourse practice, dan sociocultural practice secara umum. Selain itu, Merujuk pada tujuan penelitian pada Bab I. Maka ada tiga poin yang harus dijelaskan dalam Bab V ini, yakni: Pertama, konstruksi pemberitaan yang diwacanakan oleh MetroTV dan Liputan 6 SCTV tentang konflik LPI dan PSSI. Kedua, latarbelakang dari konstruksi tertentu pada pemberitaan Liputan 6 SCTV dan Metro TV tentang LPI. Dan ketiga, pembuktian kajian kritis bahwa netralitas media terhadap suatu debat publik tidak akan pernah terjadi. Dimulai dari representasi, ada persamaan dan perbedaan yang dimiliki oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV. Persamaannya adalah konflik LPI dan PSSI secara empiris dikonstruksi melalui pemberitaan kedua stasiun televisi tersebut. Sedangkan, perbedaannya adalah Liputan 6 SCTV ‘sedikit’ lebih obyektif dalam melakukan representasi. Indikasinya adalah diksi pemberitaan yang lebih halus dan pemilihan narasumber yang lebih variatif, cover both sides. Metro TV di lain pihak justru begitu gemar menggunakan kosakata yang sarkastis, seperti “gertak sambal” dan “mengharamkan”. Narasumber pun, dari 8 berita di Metro TV, hanya ada satu berita yang meluangkan ruang untuk wawancara dengan PSSI sebagai pihak yang dimarjinalkan dalam wacana ini. Sedangkan, Liputan 6 SCTV lebih bersikap ‘fair’, dengan 6 dari 13 beritanya meluangkan ruang untuk wawancara dengan PSSI. Akan tetapi, secara umum memang representasi yang dikonstruksi dalam dua stasiun ini adalah LPI sebagai pembela kepentingan sepakbola nasional dan PSSI sebagai musuh bersama yang terus melakukan hadangan. Dalam hal relasi, melalui analisis teks ditemukan fakta bahwa kedua televisi ini mengkonstruksi wacana konflik antara LPI dan PSSI. Kedua belah pihak yang berkonflik ini hampir selalu dibenturkan dalam berita. Meski harus diakui sebagian besar berita yang disiarkan menampilkan PSSI sebagai common enemy yang melawan kepentingan masyarakat luas terhadap kemajuan sepakbola Indonesia. Posisi ini secara eksplisit adalah pola marjinalisasi yang dilakukan oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV. Selain itu, PSSI hampir selalu ditampilkan sendirian membela diri terkait penolakannya terhadap LPI. PSSI memang sempat ‘dibela’ oleh FIFA, akan tetapi FIFA yang membelanya kemudian dikonstruksi sebagai pihak yang belum paham masalah dan hanya mendapat informasi sepihak. Sedangkan, LPI secara positif ditampilkan membela kepentingan masyarakat luas. Ini dibuktikan dalam beberapa berita, ada banyak partisipan berita yang membela LPI, seperti DPR, Menpora, Pengamat Sepakbola, Klub LPI, Masyarakat (Warga Solo dan Siswa SMA), bahkan hingga wartawan televisi itu sendiri. Untuk identitas, ada perbedaan yang cukup signifikan antara Liputan 6 SCTV dan Metro TV. Liputan 6 SCTV lebih dominan menampilkan diri sebagai pengamat, sebagai orang ketiga di luar konflik, untuk kemudian memberitakan hal tersebut kepada khalayak. Sedangkan, Metro TV secara terang-terangan, baik melalui narasi maupun wartawan di lapangan, sering menampilkan identitasnya yang lebih memihak pada LPI. Bahkan berbagai dukungan tersebut, dapat disimpulkan seakan-akan Metro TV adalah juru bicara atau humas dari LPI. Analisis teks berupa representasi, relasi dan identitas menjawab tujuan pertama dari penelitian ini yaitu konstruksi pemberitaan yang diwacanakan oleh Liputan 6 SCTV dan MetroTV tentang konflik LPI dan PSSI. Singkat cerita, kedua media ini mengkonstruksi konflik antara LPI dan PSSI dengan menampilkan kedua belah pihak sebagai pihak yang berseteru dalam pemberitaan. Akan tetapi, kedua belah pihak tidak ditampilkan secara seimbang, melainkan kedua media lebih tersebut lebih condong mendukung kehadiran LPI. Kemudian, dari tahapan discourse practice, pemberitaan kritis yang mengkonstruksi konflik yang dilakukan oleh Liputan 6 SCTV dan Metro TV didasarkan atas motif yang senada. Pertama, sisi historis dimana kedua media ini memang terkenal kritis dalam melihat ketimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini PSSI adalah organisasi yang sudah bobrok dan korup, sehingga harus segera direformasi. Kedua, sebagai konsekuensi dari liberalisasi dunia penyiaran pasca reformasi. Semua media swasta kemudian harus memiliki komoditas yang menarik tiap waktunya. Berita adalah salah satu komoditas tersebut. Sehingga, setiap harinya harus ada isu berita yang bisa diangkat untuk menarik khalayak. Dari tahapan sociocultural practice, kondisi eksternal di luar media memang “mengharuskan” media untuk berpihak. Kondisi tersebut adalah kebobrokan dan politisasi PSSI yang sudah terlalu nyata. Revolusi jalanan dari suporter sepakbola di Indonesia pun sedang mencapai puncaknya. Sehingga, mau tidak mau media sebagai salah satu instrumen perubahan, harus turut serta melibatkan diri dalam perubahan tersebut. Dan dalam hal ini, LPI adalah simbol perubahan yang harus diselamatkan. Dalam hal ini, terbukti sudah bahwa media berperan penting dalam perubahan. Slogan Liputan 6 SCTV, “Aktual, Tajam dan Terpercaya” dan Metro TV, Knowledge to Elevate, bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Slogan itu menjadi landasan bagi dari konstruksi pemberitaan yang kritis terhadap suatu wacana, sehingga perubahan dapat terjadi lebih cepat. Kedua analisis ini, discourse practice dan sociocultural practice, menjawab dua tujuan dari penelitian, yaitu latarbelakang dari konstruksi pemberitaan Liputan 6 SCTV dan Metro TV tentang LPI dan membenarkan kajian kritis bahwa netralitas media terhadap suatu debat publik tidak akan pernah terjadi. Kedua media ini memiliki sisi historis yang sama-sama kritis. Faktor kebebasan pers yang diwarnai dengan dominasi market regulation di era reformasi juga menjadi faktor yang amat berpengaruh. Pada era ini, praktis khalayak adalah segalagalanya bagi televisi swasta. Maka dari itu, program pemberitaan pada televisi swasta memiliki orientasi yang tidak berbeda dengan acara hiburan sekalipun: untuk menarik khalayak, meningkatkan rating dan kemudian mendapatkan pemasukan dari iklan. Sedangkan, permasalahan netralitas terhadap debat publik tidaklah semata-mata berkaitan dengan persoalan ekonomi-politik semata, seperti dominasi pemilik media, iklan dan rating. Akan tetapi jauh lebih luas dari itu,berkaitan erat pula dengan persoalan sosiokultural di dalam masyarakat. Dalam sebuah proses perubahan, media adalah salah satu aktor yang memiliki peran strategis. Peran media adalah katalisator perubahan, caranya dengan mengkonstruksi wacana dalam pemberitaan, seperti wacana konflik antara LPI dan PSSI ini. Kehadiran media sebagai katalisator berpotensi besar untuk mempercepat terjadinya perubahan. Argumen di atas membuktikan bahwa memang media tidak bisa sepenuhnya bersikap netral dalam menghadapi debat publik. Karena di sana ada berbagai kepentingan yang mengambil peran dan mempengaruhi pemberitaan dari media. Penelitian ini pun masih memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, bahwa di tahapan analisis discourse practice, peneliti tidak maksimal dalam meneliti proses pemberitaan yang terjadi di internal kedua televisi tersebut. Akses yang terbatas ke dalam news room dua televisi ini menyebabkan sebagian besar data di analisis discourse practice hanyalah data sekunder yang didapatkan dari buku atau penelitian lain. Kedua, analisis baru mencapai tahap analisis teks dari transkrip pemberitaan. Sedangkan, aspek visual dari berita televisi belum dianalisis secara metodologis. Seharusnya, dalam pemberitaan televisi, analisis teks bisa disempurnakan dengan dukungan dari analisis semiotika visual.

Kata Kunci : Olah Raga


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.