Laporkan Masalah

Konflik di Seputar Suksesi Raja Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat: Dulu, Kini serta Konteks Masa Depan

Susilo Harjono, Purwo Santoso

2011 | Skripsi | Politik dan Pemerintahan (dh. Ilmu Pemerintahan)

Wacana ―Raja Perempuan‖ yang menggema di medio tahun 2010 memantik ketegangan baru bagi kerabat Kraton Jogja. Wacana ini muncul melalui pernyataan Sri Sultan HB X yang mengatakan bahwa perempuan pun boleh menjadi raja dalam suksesi kraton ke depan. Alhasil gelombang resistensi muncul dari berbagai kalangan, berkelindan di antara suara-suara akar rumput yang juga tengah bergolak menuntut Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIJ segera diteken pusat. Bagi sebagian kerabat kraton, wacana ini tak lebih merupakan persoalan rumah tangga HB X yang dibawa ke ranah politik pemerintahan. Wacana ―Raja Perempuan‖ hanyalah cermin ambisi pribadi untuk mendudukkan puteri sulung HB X, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, ke tahta. Kerabat inti kraton lainnya bersuara lebih keras lagi dengan mengatakan bahwa HB X telah melanggar paugeran. Mbubrahke negoro (merusak tatanan negara) dan ngogreh-ngogreh paugeran (menerjang aturan hukum adat) adalah istilah yang mereka alamatkan kepada HB X. Lagipula, tradisi politik Kraton Jogja sepanjang 250 tahun lebih tak pernah mengenal perempuan sebagai raja. Dalih gender sebagaimana disampaikan oleh HB X dalam pernyataannya tak lebih hanya topeng dari ambisi sesungguhnya: politik dinasti alias politik melanggengkan kekuasaan. Ketegangan ini berkembang dan meksipun berkeskalasi secara terbatas, ia dapat dibaca sebagai benturan kepentingan elit kraton. Ketegangan ini menjadi titik polarisasi di antara kerabat kraton yang sesungguhnya, sudah sejak lama, telah saling berkontestasi dalam banyak hal. Gamblangnya, konflik telah melingkupi kraton. Namun, politik elit Jawa diterapkan secara cantik untuk membendung informasi konflik ke luar tembok kraton. Manajemen konflik, secara tanpa disadari, telah diambil sebagai jalan mencapai resolusi permasalahan internal. Premis dasar yang perlu diambil adalah tidak satupun sistem di dunia sepenuhnya stabil, bebas dari konflik. Kraton Jogja adalah salah satu sistem tersebut. Namun, gradasi konflik yang gemanya hampir tak terdengar oleh publik menjadikannya sebagai konflik yang konstruktif. Yang menarik adalah cara meredam konflik elit di dalam tembok kraton itu dengan menggunakan beragam instrumen yang kesemuanya mengambil titik tolak manajemen konflik dengan konsensus bersama. Melalui cara ini hal utama yang ingin ditekankan adalah kesamaan dalam memandang nilai dan mengartikulasikannya dalam tataran budaya sebagai sebuah kontrol penekan. Nilai luhur Jawa yang masih diterapkan secara kuat di dalam kraton menjadi salah satu faktor paling siginifikan dalam konteks ini. Suksesi Kraton Jogja menjadi menarik mengingat pergantian tahta raja akan selalu bersinggungan dengan posisi kepala daerah—keduanya adalah jabatan politik yang tak lepas dari konflik dan tarik ulur kepentingan. Karenanya, perlu sebuah visi yang tegas pengaturan suksesi utamanya bagi HB X untuk mengawal proses politik. Nilai-nilai yang terkandung dalam Paugeran Praja Kejawen yang dianggap menjadi konstitusi kraton mesti dikodifikasi ulang. Belajar dari kasus disharmoni yang menyertai pergantian tahta dari Pakubuwono XII ke Pakubuwono XIII di Solo, Pakualam VIII ke Pakualam IX di Pakualaman, dan Mangkunegoro VIII ke Mangkunegoro IX di Mangkunegaran, semestinya pemimpin Jogja mampu ―melunasi‖ hutang politiknya untuk Hamemayu Hayuning Bawana, menciptakan harmoni kehidupan. (Kata kunci: konflik elit, manajemen konflik, suksesi kraton, gelar raja, paugeran praja kejawen)

Kata Kunci : Konflik


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.