Laporkan Masalah

MASYARAKAT DESA KEBUNAGUNG MERESEPSI PROGRAM REALIGI  Studi Etnografis atas Resepsi Masyarakat Desa Kebunagung, Sumenep, Madura terhadap Program Realigi Trans TV 

Nuril Ashivah Misbah , Muhammad Shulhan

2010 | Skripsi | Ilmu Komunikasi

Setelah melakukan penelitian ini dan mencoba menganalisa resepsi beberapa informan, saya menemukan banyak sekali fakta menarik. Masing-masing informan memiliki resepsi yang khas dan unik terhadap program Realigi. Yang mungkin, mereka sendiri tidak menyadari kekhasan resepsi dan pendapat mereka atas program Realigi karena proses resepsi berjalan tanpa mereka sadari. Ada pendapat yang kritis dan apatis serta ada pendapat yang positif dan negosiatif. Masing- masing informan memiliki pola yang berbeda dalam memaknai kode-kode yang terdapat dalam program Realigi. Meskipun sama-sama masyarakat desa Kebunagung yang memiliki latar budaya dan karakter sosiologis yang sama, namun masing-masing informan memiliki karakter individu yang unik yang membuat mereka berbeda satu sama lain. Aspek yang membedakan tersebut terpetakan dalam tingkat pendidikan, usia, gender, profesi/pekerjaan, dan tingkat religiusitas. Aspek-aspek inilah yang menjadi kompetensi kultural dari tiap-tiap informan dan yang menjadi faktor pembeda resepsi mereka dari satu informan ke informan lain. Holili misalnya, resepsinya terhadap program Realigi sebagian besar dilatar belakangi dan dipengaruhi oleh pendidikannya. Tingkat pendidikan Holili yang tinggi memungkinkan Holili untuk meresepsi teks media secara lebih baik. Dia mampu memahami logika produksi seperti akting dan alur penceritaan. Pendidikan formal umum dan pendidikan pesantren yang ditempuhnya juga sangat mempengaruhi Holili dalam membandingkan nilai-nilai yang diusung dalam program Realigi. Sehingga sikapnya begitu kritis, tidak mudah menerima teks sebagaimana adanya. Dia selalu melakukan perbandingan dengan pengetahuan (field of knowledge) yang dimilikinya serta realita kehidupan sehari-hari (field of experience). Uniknya, dengan latar belakang pendidikan pesantren yang notabene merupakan pendidikan sarat agama, Holili tidak menunjukkan resepsi yang positif terhadap program tersebut. Dia justru bersikap paling kritis di antara informan-informan yang lain. Holili juga memperlihatkan bahwa di usianya yang terbilang muda—Holili merupakan informan termuda saya—tidak menghambatnya untuk bersikap kritis. Dengan latar belakang pendidikannya, baik umum maupun pesantren, dia bisa meresepsi program Realigi dengan lebih baik. Berbeda dengan Holili yang begitu dipengaruhi oleh pendidikannya, Rahima sangat dipengaruhi oleh profesi atau pekerjaannya dalam meresepsi program Realigi. Sebagai seorang pedagang, mbak Rahima terbiasa untuk bersikap apatis atau tidak mudah percaya terhadap orang lain karena kekhawatiran untuk ditipu atau merugi, dia juga terbiasa berpikir ‘hasil atau out come’ yang direpresentasi oleh keuntungan yang diperoleh dari hasil berdagang. Hal ini yang terefleksi dalam resepsi yang dilakukan Rahima. Meski sebagian besar Rahima tidak mengkritisi Realigi, namun dia menunjukkan sikap apatisnya terhadap aspek produksi dalam program Realigi, yaitu proses pengambilan gambar. Logika untung rugi dalam perdagangan yang menjadi tolok ukur untuk menilai out come dari aktivitas berdagang juga mempengaruhi Rahima dalam meresepsi Realigi. Dia merasa tidak masalah apabila Realigi merupakan hasil rekayasa, yang terpenting menurutnya adalah pesan kebaikan yang dikandung oleh Realigi dalam mengajak orang kembali pada jalan yang benar. Dan dia tidak memperhatikan bagaimana prosesnya pembuatan program tersebut. Apakah sesuai dengan format program atau tidak, apakah sesuai dengan realita dalam kehidupan nyata masyarakat sehari-hari. Hal-hal semacam ini tidak begitu diperhatikan oleh Rahima. Informan lain yang dipengaruhi oleh aspek profesi adalah Ramadan. Profesinya sebagai seorang loper koran selama bertahun-tahun, dia terbiasa dengan rutinitas mengantar koran dari satu rumah ke rumah yang lain dengan rute yang hampir selalu sama setiap harinya. Hal ini membuatnya pasif, tidak mampu kritis terhadap keadaan sekitar. Dan hal inilah yang diperlihatkannya dalam meresepsi Realigi. Dia sangat jarang mempertanyakan hal-hal yang ditayangkan dalam program Realigi. Dia hampir menerima semua pesan tanpa ada perlawanan. Resepsi Ramadan terhadap program Realigi ini sekaligus juga menunjukkan bahwa aspek gender tidak menjamin adanya kesamaan resepsi. Dalam kasus penelitian saya, antara Ramadan dan Holili yang sama-sama berjenis kelamin laki-laki, mereka memiliki resepsi yang jauh berbeda. Holili memiliki daya kritis dalam resepsinya sedangkan Ramadan tidak. Di satu sisi Holili memperkuat stereotipe yang menyatakan bahwa laki-laki selalu berpikir rasional dan kritis, namun secara berbarengan di sisi lain Ramadan mematahkan tesis tersebut dalam satu penelitian yang sama. Masih berkaitan dengan gender, informan saya yang lain, Yanti, Suhartini, dan Mutmainnah, sebagai perempuan yang telah berkeluarga, status mereka dalam keluarga sangat mempengaruhi pola resepsi mereka. Dalam meresepsi program Realigi mereka sangat mengedepankan empati mereka terhadap masalah keluarga, terutama anak. Keutuhan keluarga, kebaikan anak, kerukunan di antara anggota keluarga adalah hal-hal yang mereka perhatikan selama proses resepsi berlangsung. Hal ini sangat wajar mengingat peran mereka dalam keluarga yaitu sebagai istri, ibu, dan juga nenek, di mana keluarga selalu menjadi prioritas utama. Yang paling menarik perhatian saya adalah pengaruh aspek religiusitas informan dalam meresepsi program Realigi. Di latar belakang penelitian saya mengungkapkan keingintahuan saya terhadap resepsi masyarakat yang memiliki karakter religius terhadap program yang juga religius. Apakah semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang berarti dia meresepsi program Realigi sebagai program yang positif, ataukah semakin rendah tingkat religiusitas seseorang maka dia akan meresepsi secara negatif program Realigi. Setelah melakukan penelitian ini, saya ternyata menemukan bahwa tingkat religiusitas masing-masing informan mempengaruhi pola resepsi secara variatif. Misalnya, Holili, informan saya yang memiliki tingkat religiusitas tertinggi justru merupakan informan yang mengkritik keras program Realigi. Pengetahuan dan pemahamannya terhadap bidang keagamaan membuat dia memiliki kemampuan menilai secara lebih mendalam terhadap unsur religiusitas yang direpresentasi dalam program Realigi. Namun saya juga tidak menemukan fakta bahwa semakin rendah tingkat religiusitas informan maka dia akan merespon secara lebih positif. Sebab Suhartini, salah satu informan saya yang tergolong kurang tingkat religiusitasnya, meski memaknai secara program Realigi sebagai program yang baik dan positif, namun dia pun tidak menangkap adanya unsur religius dalam program Realigi. Selalu ada banyak aspek yang membuat resepsi informan menjadi unik dan khas. Bahkan gejala yang hampir serupa pun tidak bisa langsung disimpulkan bahwa resepsi seseorang akan sama dengan orang yang juga memiliki gejala sama. Seperti halnya dua informan saya, Mutaminnah dan Suhartini, yang keduanya sama-sama berjenis kelamin perempuan, ibu rumah tangga, sama-sama berusia lanjut, memiliki cucu, dan tingkat pendidikan rendah. Namun resepsi keduanya pun berbeda. Tetap saja ada aspek lain yang membuat resepsi keduanya tidak sama. Karena itu, dalam analisis resepsi tidak pernah bisa menghasilkan kesimpulan yang menyatakan bahwa teks media tertentu selalu diresepsi sama oleh audiens. Yang saya temukan dalam penelitian saya adalah semakin kecil perbedaan konteks dan kompetensi kultural antara satu informan dengan yang lain, maka perbedaan resepsi juga semakin tipis. Biasanya perbedaan terjadi pada hal-hal yang menjadi titik perhatian utama dari informan. Dan satu hal yang menjadi catatan saya selama penelitian adalah proses resepsi tidak pernah memberlakukan syarat bagi para pembaca teks dan tidak memiliki patokan atas kebenaran tunggal dari suatu resepsi. Proses resepsi tidak pernah mensyaratkan audiens atau pembaca (the reader) untuk memiliki konteks tertentu agar bisa menghasilkan resepsi yang baik dan benar. Karena dalam teori resepsi pun tidak pernah ada rujukan untuk menilai suatu resepsi benar. Sebab seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya, resepsi atau pemaknaan terhadap suatu teks sangat terbuka lebar, karena teks bersifat polisemi. Karena itu tidak pernah ada kata salah terhadap suatu resepsi.

Kata Kunci : Program Televisi


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.